Bung Karno dan Fotografi

Edisi: 14/30 / Tanggal : 2001-06-10 / Halaman : 73 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,


BAHKAN hingga akhir hayatnya, saat jasadnya terbujur kaku di Wisma Yaso, Jakarta, para fotografer masih berebut memotret wajahnya-dari dekat pula. Seperti dilaporkan wartawan Kompas dalam beritanya, sontak hal ini membuat berang Ratna Sari Dewi. "Cameraman jangan terlalu dekat. Jangan kurang ajar. Hormati Bapak," demikian Dewi mendamprat.

Barangkali dalam kesedihannya, janda muda itu tak menyadari: terlepas dari tugas kewartawanan, para juru kamera itu justru sedang memberikan penghormatan terakhir bagi almarhum suaminya.

Bukankah, sebagaimana kesaksian para wartawan "kiblik" yang mengenalnya sepanjang revolusi kemerdekaan, Bung Karno tak pernah mau pergi ke mana-mana tanpa diiringi fotografer? Lagi pula, adalah sang proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia itu sendiri yang, "Selalu mengizinkan para fotografer memotret dirinya dari dekat, sementara wartawan tulis cuma berdiri di pojok," kata R.M. Soeharto, pensiunan juru kamera Berita Film Indonesia, mengenang.

Untuk ukuran kebanyakan kepala negara, ini sudah cukup jauh. Tidak bagi Sukarno. Kedekatannya dengan para fotografer tak terhenti pada acara-acara resmi, tapi juga berlaku dalam hubungan sehari-hari. Mengajak Mendur bersaudara dari Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) sarapan pagi di serambi istana, atau menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberi tumpangan pada juru kamera yang tertinggal angkutan, hanyalah beberapa contoh kebiasaan-kebiasaan Bung Karno yang di masa rezim Soeharto, dan bahkan dalam banyak pemerintahan di belahan dunia lain hingga saat ini, cuma bisa terjadi dalam mimpi para wartawannya.

Tak mengherankan bila Dewi, yang di antara istri-istri Presiden Sukarno termasuk paling akhir mengenal dunia ini, salah paham. Hubungan khusus antara Bung Karno dan para fotografer memang tak bisa dilihat dan dinilai hanya dari protokol yang pada umumnya terkait dengan status dan jabatan kepresidenan. Bahkan tak bisa diukur berdasarkan takaran yang berlaku bagi orang-orang penting atau pejabat tinggi pada umumnya. Ia memiliki formulanya sendiri.

Dalam editorial yang ditulisnya 31 tahun silam, wartawan senior Jakob Oetama menyitir bahwa dalam dunia Bung Karno, "Kekenesan pribadinya berperanan." Sejauh yang berhubungan dengan citra diri, hal itu sudah bisa kita rasakan, bahkan sejak gambar-gambar dirinya dibuat oleh para tukang potret tak bernama di awal abad silam. Berpose di deretan paling belakang, atau dikelilingi rekan-rekan sebangku sekolahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya-kebiasaannya pada periode ini-memang tak percuma Sukarno muda diberi nama si Putra Fajar. Pasang aksi. Penuh gaya dari ujung destar hingga ujung jarik…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…