Sumitro Djojohadikusumo: "Saya Masih Ingin Melihat Negara ini Bangkit Lagi"

Edisi: 10/29 / Tanggal : 2000-05-14 / Halaman : 53 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,


SUMITRO Djojohadikusumo tidak pernah membayangkan ia akan kehilangan satu kakinya. Dokter yang merawatnya di Singapura, akhir Desember 1999, menyarankan pecandu tenis ini untuk menjalani amputasi kaki kirinya. Ia tak bisa menerima "vonis" itu. "Saya sulit tidur dua malam memikirkan amputasi. Saya sangat ketakutan," cerita Pak Cum, demikian nama kecilnya, yang harus memakai tongkat untuk membantunya berjalan. "Begawan ekonomi" Indonesia ini berusaha keras meyakinkan diri agar mampu menghadapi hal yang terburuk.

Akhirnya hal terburuk itu berlalu. Kaki kiri Sumitro, yang terserang tumor, tidak perlu diamputasi. Dan kejadian ini lebih meyakinkan pengagum Nehru itu pada prinsip hidup: be prepared for the worst, fight for the best (siap menghadapi yang terburuk, berjuang untuk mendapat yang terbaik).

Dengan prinsip itulah, selama 83 tahun perjalanan hidupnya Sumitro mengarungi cobaan demi cobaan. Ketika masih muda, Sumitro pernah sakit hingga sekarat. Ia juga pernah ikut gerakan politik di daerah (sejak 1957) sampai ia dicap sebagai pengkhianat. Pak Cum juga beberapa kali disingkirkan dari kancah politik, baik di zaman Sukarno maupun Soeharto. Pemecatan anaknya, Prabowo Subianto, dari TNI juga memukulnya. Apalagi, Prabowo, mantu bekas presiden Soeharto, kemudian harus "mengungsi" untuk tinggal sementara di Yordania. Itu juga memukul Sumitro. "Tapi orang hidup itu harus mempertahankan human dignity," kata Sumitro.

Biografi Jejak Perlawanan Begawan Pejuang yang diterbitkan April lalu mungkin akan menakar seberapa konsisten ia memperjuangkan gagasan-gagasannya, juga menjaga kehormatannya sebagai manusia. Setelah lama dirawat di Singapura, begitu mendarat di Jakarta, tokoh Partai Sosialis Indonesia ini menerima tim wartawan TEMPO-Bina Bektiati, Dharmawan S., Wenseslaus M., Seno Joko S., dan Robin Ong-Selasa 2 Mei lalu. Berikut petikan wawancara itu:

Apa latar belakang penerbitan buku ini?

Buku ini sebetulnya berawal dari gagasan rekan saya, Prof. Dr. Hendra Esmara, dari Universitas Padang. Ia bersedia menuliskannya, bahkan melakukan riset sampai ke Leiden, Washington, dan beberapa negara lain, untuk melacak perjalanan hidup saya. Sejumlah peristiwa yang sudah saya lupakan bisa ditemukannya.

Malangnya, di tengah persiapan penerbitan buku ini, Pak Hendra terkena stroke dan rencana penerbitan buku ini pun terbengkalai. Kemudian, teman saya yang lain, Aristides Katoppo, yang saya kenal sejak 1967, mengatakan kepada saya bahwa sayang sekali jika hasil kerja Pak Hendra tidak dilanjutkan. Setelah negosiasi kiri-kanan, akhirnya Tides menyusun sebuah tim penulis untuk menyelesaikan apa yang telah dirintis oleh Pak Hendra. Saya memberikan kebebasan penuh kepada timnya Pak Tides untuk menulis apa saja. Mereka bebas mewawancarai siapa saja yang mengerti baik-buruk tentang saya. Saya sendiri tidak pernah membaca sebelum naskah terakhir.

Apakah Anda meminta pertimbangan keluarga sebelum menyetujui buku ini ditulis?

Tidak. Saya tidak pernah meminta pertimbangan mereka. Percuma toh minta izin. Sebab, prinsip saya, jelek atau baik ya tulis saja. Kalau memang mereka merasa tersinggung, mereka bisa membantahnya, kan.

Di dalam buku, Anda menceritakan bahwa Anda meninggalkan Jakarta dan pergi ke daerah-daerah untuk melawan pemerintah pusat. Apa yang mendorong Anda untuk melawan pemerintah pusat saat itu? Bukankah sebagai mantan Menteri Keuangan, kehidupan Anda cukup terjamin?

Saya sadar, banyak kalangan yang mempertanyakan hal ini dan hingga saat ini belum mendapatkan jawabannya. Ada baiknya memang harus saya ceritakan. Pada 1952, saya diangkat…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…