Kolonel A. Latief: "Saya Ingin Meluruskan Sejarah"

Edisi: 06/29 / Tanggal : 2000-04-16 / Halaman : 59 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,


MESIN tik tua milik Abdul Latief adalah simbol perlawanan. Dengan mesin tik kecil itu, Latief menyusun dan meluruskan sebuah sejarah, sebuah pleidoi yang memang tak pernah membebaskannya dari jeruji penjara. Mesin tik itu seperti memiliki roh yang mampu mengirim kekuatan kepada sepuluh jari yang renta untuk menguak beberapa bagian yang hilang dari sejarah Indonesia. Dengan mesin tik yang hurufnya sudah timbul-tenggelam itu, pria 74 tahun ini menulis serangkaian jawaban untuk wawancara wartawan. Maklum, meski wawancara lisan juga dilakukan, stroke yang dideritanya menyebabkan ia memiliki problem berkomunikasi verbal dengan fasih, meski ingatannya masih luar biasa segar-bugar. Meski Latief pernah disiksa dan ditahan selama hampir 32 tahun, semua itu tidak meruntuhkan semangatnya.

"Saya harus tetap sehat," kata Latief. Untuk menjaga kesehatannya, Latief rajin bersenam lidah-menggerakkan lidah ke kanan, kiri, atas, dan bawah-dan menggerakkan kaki setiap pagi untuk membatasi dampak buruk stroke dan bekas luka menahun di kedua kakinya.

Semua itu dilakukan dengan tujuan menyuarakan kebenaran dan menuntut diakhirinya ketidakadilan. Latief aktif memperjuangkan rehabilitasi dan kompensasi untuk para korban G30S melalui organisasi "Paguyuban Korban Orde Baru". "Kalau menuntut, lebih baik bersama-sama, tidak satu per satu," kata Latief sembari menunjukkan daftar properti di masa gelap itu.

Di luar semua itu, Latief adalah orang yang sederhana. Dia tinggal bersama anaknya di kawasan Kebonjeruk, Jakarta Barat. Kamarnya, yang berukuran 3x4 meter, lebih mirip seperti kamar anak kos karena terisi oleh buku-buku dan kertas yang berserak, baju bergelantungan, dan sebuah "kompo" kecil di ranjang. Untuk kebutuhan sehari-hari, Latief punya usaha percetakan dan sablon yang dikelola sejak dia masih di Cipinang. "Saya ingin mandiri," kata Latief.

Berikut adalah kutipan wawancara Bina Bektiati dan Ardi Bramantyo dari TEMPO dengan Kolonel Abdul Latief yang dilakukan secara langsung di kediaman Abdul Latief, ditambah dengan beberapa jawaban tertulis.

Apa yang mendorong Anda untuk menerbitkan pleidoi Anda sebagai buku?

Ketika pleidoi itu selesai saya bacakan pada rangkaian sidang saya yang berakhir pada Agustus 1978, banyak teman-teman yang berminat, sampai-sampai saya harus membuatkan fotokopi untuk mereka secara gratis.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…