Sumitro Djojohadikusumo: "Saya bukan Godfather"

Edisi: 04/28 / Tanggal : 1999-04-05 / Halaman : 30 / Rubrik : WAW / Penulis : Setiyardi, Wicaksono, Kleden, Hermien Y.


WAKTU seperti tidak berdaya terhadap Sumitro Djojohadikusumo, terhadap daya ingatnya. Wajahnya penuh kerut-merut usia, bahunya tidak lagi tegak, dan tangan kanannya perlu menggenggam sebilah tongkat saat ia berjalan. Namun ingatannya membuat orang akan segera melupakan usianya, yang akan genap 82 tahun pada 29 Mei nanti. Semua peristiwa masa lalu dapat diterangkannya dengan detail, lalu dihubungkannya dengan berbagai kejadian mutakhir bilamana perlu.

Sesekali tangannya melambai di udara tatkala menekankan sesuatu yang penting, lalu turun menyentuh ujung lengan jas bermotif khas burberi yang dikenakannya siang itu. Sang waktu rupanya juga tak bisa mengalahkan seleranya akan keanggunan: kemeja katun putih button down bermanset emas, dengan dasi berwarna burgundi, bercorak garis-garis halus.

Sumitro lahir dari sebuah keluarga terpandang, yang membesarkannya dalam tradisi Barat tanpa kehilangan sentuhan Jawa. Ia mengaku sangat bangga sebagai orang Banyumas_keresidenan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ia mengikuti jejak ayahnya, Margono Djojohadikusumo, pengikut Boedi Oetomo dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, menempuh pendidikan di Eropa. Pada usia 21 tahun, Sumitro meraih gelar sarjana muda filsafat dan sastra di Universitas Sorbonne, Paris. Dari sini, ia pindah ke Belanda untuk belajar ekonomi di Economische Hogeschool, Rotterdam. Gelar doktor ia raih pada 1942.

Setelah meninggalkan universitas, ia menjejak sebuah karir panjang, yang tampaknya belum akan disudahinya hingga sekarang. Ia menaruh perhatian mendalam pada dasar-dasar ekonomi Indonesia, menduduki berbagai jabatan elite dalam birokrasi, serta menjadi konsultan bidang ekonomi dalam dan luar negeri.

Ia pernah mengalami masa ''gelap": diburu pemerintah Soekarno, yang menuduhnya bersekongkol dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)_gerakan yang pernah dituduh separatis, tapi oleh para eksponennya disebut sebagai upaya membangun daerah dan menyelamatkan bangsa dari pengaruh PKI. Oleh rekan-rekan separtainya sendiri (Partai Sosialis Indonesia-nya Sutan Sjahrir), dia dihujat. Sedangkan persentuhannya dengan PRRI pun tak lama.

Dalam keadaan terjepit, dia lari ke luar negeri. Baru 10 tahun kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia (Juli 1967) dan menduduki jabatan menteri dalam kabinet Soeharto selama dua periode (1968-1978). Setelah pensiun dari birokrasi, ia giat sebagai konsultan, dosen, dan menulis berbagai karya ilmiah.

Pernikahannya dengan Dora Sigar memberinya empat anak yang cerdas dan ... kontroversial. Salah satunya, Letjen Prabowo Soebianto, perwira militer cemerlang yang menikah dengan Siti Hediyati (putri mantan presiden Soeharto), terjerembap dan karirnya selesai begitu saja tak lama setelah kejatuhan Soeharto. Putri sulungnya, Biantiningsih Miderawati, menikah dengan Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia yang dicopot Februari tahun silam, 10 hari menjelang masa jabatannya berakhir. Dan anak bungsunya, Hashim (bos Semen Cibinong, Petrokimia, dan sejumlah bank), kini dilanda banyak kesulitan dalam usahanya.

Orang lalu bertanya-tanya: inikah akhir kejayaan keluarga Djojohadikusumo? ''I've been through the worst. Dan ini bukan yang pertama kali," ujarnya tenang kepada wartawan TEMPO Setiyardi, Wicaksono, dan Hermien Y. Kleden, yang mewawancarainya pekan lalu. Percakapan berlangsung dua kali: di kantornya, di Jalan Kertanegara 4, Jakarta Pusat, dan di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Berikut ini petikannya.

Bagaimana hubungan Anda dengan Pak Harto sekarang?

Dua hari setelah Pak Harto jatuh, saya mencoba menghubunginya. Saya selalu melakukan itu bila ada kerabat atau kenalan yang sedang dilanda kesulitan.

Boleh tahu isi pembicaraan itu?

Kami tidak ketemu. Lewat ajudannya, saya mengatakan ingin bertemu. Biasanya saya mendapat jawaban dalam dua hari. Satu minggu kemudian, saya mendapat jawaban, ''Bapak masih sibuk." Dua minggu kemudian, saya telepon lagi. Tetap tidak ada tanggapan. Sejak itu, saya tidak pernah mau ketemu lagi.

Ada beban berbesan dengan Pak Harto?

Tahun-tahun pertama baik, tapi makin lama makin tidak baik. Tidak pernah ada bentrokan. Saya memang menjaga jarak. Jadi, hubungan itu biasa saja, jauh tidak, mesra juga tidak.

Melihat besan Anda dihujat sana-sini sekarang, apa yang Anda rasakan?

Tidak hanya sebagai besan, sebagai manusia tentu saya sedih. Masa, ada orang terus-terusan dihujat? Kesalahan Pak Harto adalah dia terlalu percaya kepada anak-anaknya dan terlalu percaya kepada cukongnya. Dia memang lemah terhadap anak-anak, lebih-lebih setelah kepergian Ibu Tien. Dan semua anaknya itu dendam kepada Bowo (Prabowo), kecuali Sigit yang agak netral.

Kabarnya, Anda pernah berucap, pernikahan Prabowo dengan Titiek Soeharto adalah ''kesalahan sejarah" terbesar dalam hidup Anda?

Oh, tidak. Paling-paling…

Keywords: PrabowoPrabowo Subianto
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…