Kamera dengan 'Mata Max Havelaar'

Edisi: 15/43 / Tanggal : 2014-06-15 / Halaman : 62 / Rubrik : LAY / Penulis : Seno Joko Suyono, M. Sidik Permana, Lea Pamungkas


Serdadu-serdadu kolonial asal Ambon itu meriung di bawah sebuah pohon. Bayonet terhunus di tangan. Mereka terlihat tengah berkoordinasi. Kehadiran kamera seperti tak mengusik mereka. Di foto lain, sejumlah prajurit Dayak tengah berpose dengan lembing tajam dan perisai. Fotografer yang menghasilkan kedua foto ini tak syak berpengalaman keluar-masuk medan-medan yang sulit, dari kancah perang hingga pedalaman hutan. Ia juga pasti seorang kawakan, karena terlihat membuat nyaman obyek fotonya.

Foto-fotonya yang lain menangkap suasana kesibukan buruh-buruh perkebunan dan pabrik. Dari perkebunan kopi, tembakau, sampai teh. Dari kerja sehari-hari jongos pabrik gula hingga pabrik garam. Kameranya juga mengabadikan kuli-kuli pelabuhan dan kilang minyak. Ia tak hanya menangkap unsur manusianya, tapi juga peralatan pabrik. Ia bahkan memotret rel-rel stasiun dan saluran-saluran irigasi. Dan, yang menakjubkan, itu bukan hanya di satu kawasan, melainkan di seluruh penjuru Nusantara. Dari Payakumbuh, Papua, Samarinda, sampai kota kecil Tuntang di Jawa Tengah.

Foto-foto "reportase" itu dibuat pada zaman kolonial antara 1888 dan 1930-an. Nama juru potretnya adalah Jean Demmeni. Nama yang sungguh "asing". Dari namanya, pasti ia memiliki darah Prancis. Namun Demmeni kelahiran Padang pada 1866 dan meninggal di Bogor pada 1939. Ia "anak Hindia" asli, yang hampir separuh hidupnya—dengan kameranya—menjelajahi kota demi kota Hindia Belanda.

Dan foto-foto langka dari "anak kolong Hindia" keturunan Prancis ini dipamerkan mulai Mei lalu sampai akhir Juni nanti di Rumah Topeng, Kubu Bingin, Ubud, Bali. "Saya beli foto-foto Jean langsung tahun 2008 dari Watse Heringa, kolektor Belanda, cucu Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Stasiun Beos," kata Liong Hauw Ming dari Rumah Topeng Ubud. Foto-foto yang didapatkannya itu merupakan hasil cetakan Kleynenberg, Boissevain & Co. "Watse menawarkan 150 foto Demmeni dengan harga sekitar 80 juta, akhirnya deal sekitar 50 juta."

Separuh lebih karya Demmeni itu kini disajikan di Rumah Topeng. Pihak Rumah Topeng menggaet sejarawan ahli Batavia, Mona Lohanda, untuk menjadi kurator. Menurut Hauw Ming, di Belanda sesungguhnya sangat mudah mendapatkan foto-foto kuno Demmeni. "Banyak repro foto Demmeni dijual di kios-kios antik, tapi sering hanya satu-satu, jarang utuh. Sedangkan saya mendapatkan satu dus penuh masih dengan cap Kleynenberg, Boissevain & Co."

Baginya, menyelamatkan foto-foto itu penting karena jepretan Demmeni banyak digunakan di berbagai publikasi kolonial sejak awal abad ke-20 hingga menjelang kemerdekaan Indonesia. Foto-foto itu saksi mata. Foto-foto itu kerap dimuat di majalah bulanan kultural Ned. Indie atau majalah Oud en…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…