Sardono: Kamera,Papua,dan Lelehan Cat

Edisi: 28/45 / Tanggal : 2016-09-11 / Halaman : 48 / Rubrik : LAY / Penulis : Seno Joko Suyono., ,


Retrospeksi Sardono W. Kusumo Di Singapura

SEBUAH retrospeksi karya-karya Sardono W. Kusumo dirayakan di Singapore International Festival of Arts pada akhir Agustus lalu. Festival ini menyajikan pentas terbaru Sardono yang berkolaborasi dengan banyak penari Papua. Yang juga paling berharga dan langka adalah dipamerkannya dokumentasi yang dibuat Sardono sejak 1960-an.

Melalui film dokumenter yang dibuat Sardono dengan kamera format 8 milimeter ini, kita bisa melihat bagaimana pada 1960-an dan 1970-an Sardono berinteraksi dengan masyarakat Desa Teges, Bali, sampai Desa Bawolato, Nias. Sebuah pameran yang bisa membaca ulang sejarah pergulatan estetika Sardono yang berbeda. Sebuah pergumulan estetika yang memberi perhatian besar pada masalah ekologi dan pentingnya proses yang berkesinambungan.


SAYUP-sayup terdengar suara ombak. Tony ­Broer, aktor asal Bandung, berdiri di atas sebuah wajan besar. Wajan itu bagai sebuah perahu kecil. Tatapannya kosong. Sosoknya betul-betul ”hancur lebur”. Ia seperti antara hidup dan mati. Janggut lebatnya yang abu-abu berantakan, serabutan kotor menutupi wajah. Rambut panjangnya awut-awutan. Tangannya sesekali menengadah seraya sorot matanya memandang nanap ke atas. Mulutnya menggumamkan sesuatu, tapi tak tertangkap kalimat-kalimatnya. Di sekelilingnya, meringkuk tubuh lelaki-perempuan dalam wajan-wajan lain.

Black Sun, karya terbaru Sardono W. Kusumo, dimulai dengan 11 penari merangkak perlahan dengan benda serupa wajan besar di atas punggung. Tata cahaya yang ditangani penata lampu asal Amerika Serikat, Clifton Taylor, membuat dalam kegelapan muncul pendaran-pendaran halus di permukaan bulatan wajan. Para penari tampak ada yang menutupkan wajan terbalik itu ke seluruh badannya. Ada yang tertidur di wajan dengan kaki tertekuk seperti posisi jabang bayi dalam kandungan. Bunyi krak... krak... krak wajan yang bergoyang-goyang kanan-kiri bagaikan sampan-sampan kecil yang diempas gelombang itu membikin sensasi sendiri.

Karya yang memetaforakan ter­ombang-ambingnya manusia perahu itu dipentaskan di gedung ­Theatre Work, Jalan Mohamed Sultan, kawasan Clarke Quay, Singapura. Karya ini merupakan bagian dari Singapore International Festival of Arts (SIFA). SIFA memberikan tempat terhormat kepada Sardono, yang tahun ini berumur 71 tahun. Di antara para penari dunia yang tampil di festival itu, misalnya Bill T. Jones (Amerika), Fernando Rubio (Argentina), Dimitris Papaioannou (Yunani), Trajal Harrell (Amerika), dan Robert Lepage (Kanada), Ong Keng Sen, Direktur Festival SIFA, menyediakan secara khusus The Sardono Ret­rospective. Tiga karya Sardono disajikan, yakni tari Black Sun, yang sebagian besar menggunakan penari Papua; Sardono Solo Live Painting; dan pemutaran film yang dibuat Sardono bertajuk Expanded Cinema.

Deram kapal makin keras. Manusia-manusia perahu, imigran-imi­gran ilegal itu, bangkit. Setelah terombang-ambing sekian lama di samudra, tiba-tiba mereka mendengar ada suara kapal mendekat. Mungkin itu kapal yang akan menyelamatkan mereka. Seseorang mengangkat tangan ke atas. Seseorang menumpukan kepalanya keras-keras ke dasar wajan. Seseorang menggemetarkan kaki di wajan.

Lalu ada adegan seseorang berjalan di atas wajan mendekatkan wajannya ke wajan lain. Mereka yang tercerai-berai berusaha mendekat. Mereka lalu saling melempar tali, tarik-menarik dan gapai-menggapai. Para penari Papua itu kemudian menyajikan adegan kebersamaan. Di tiap sudut, tubuh mereka tumpuk-menumpuk di punggung melilitkan tali satu sama lain. Di tengah keriuhan, seorang lelaki sepuh berbadan tegap masuk dan merespons penyanyi Nyak Ina Raseuki, yang lebih dulu bereksplorasi suara. Lelaki itu adalah Chriestianus Serra Koirewoa, keturunan raja dari Kampung Serui, Waroten, Papua.

Si lelaki menyanyikan sebuah senandung suci: ”Sampari sya syairoro. Sampari syana ande ndug­hamae. Sampari sya syairoro.” Arti senandung itu adalah di dalam perahu kecil ini aku mengukur keluasan laut yang tak terbatas, di dalam perahu kecil ini aku melintasi waktu sejak…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…