Garuda "menumpang Perahu Joop Ave"

Edisi: 39/14 / Tanggal : 1984-11-24 / Halaman : 75 / Rubrik : EB / Penulis :


GARUDA kesulitan keuangan? Ketika melantik R.A.J. Lumenta sebagai direktur utama baru Garuda, pekan lalu Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin tak menyebut secara eksplisit kemungkinan itu. Kepada TEMPO, dia hanya menyebut bahwa titik terendah resesi menyebabkan Garuda kini berada pada landasan paling dasar. Karena itu, sepanjang tahun ini, perusahaan sulit mencapai angka pertumbuhan berarti. Syukur, dalam keadaan seperti itu "Garuda masih bisa mencicil utangnya sebesar US$ 320 juta tahun ini." ujar Menteri Roesmin.

Dengan kata lain, semua utang dan kewajiban perusahaan ini bisa dikelola dengan baik. Setiap tiga bulan sekali, Garuda bahkan dikabarkan masih secara tetap menyampaikan laporan keuangan perusahaan kepada para bankir pemberi kredit. Sampai akhir masa jabatannya, Wiweko rupanya tak ingin utang Garuda, yang berjumlah sekitar US$ 850 juta, jadi semacam tunggakan menyakitkan.

Jadi, kenapa dia dicopot? Menurut seorang pejabat tinggi, Wiweko dianggap terlalu rasional dan kelewat efisien dalam mengemudikan Garuda. Keluhan dari manajemen, pilot, dan karyawan darat mulai muncul ketika sikapnya itu dinilai tidak cocok dengan kondisi lingkungan kerjanya. Dalam berunding untuk merencanakan penerbangan langsung ke Denpasar guna mendorong masuknya turis asing, misalnya, sikapnya dianggap kelewat keras menghadapi perusahaan asing. "Kalau begini terus 'kan bisa repot," ujar pejabat itu.

Boleh jadi Wiweko menganggap belum saatnya perusahaan, termasuk manajemen dan karyawan, hidup makmur di tengah gundukan utang cukup besar. Apalagi setiap tahun, dalam empat tahun terakhir ini, perusahaan harus menyisihkan uang sekitar US$ 300 juta untuk mencicil utang komersialnya. Efisiensi, apa boleh buat, terpaksa dilakukannya untuk menekan pengeluaran rutin. Karena itulah, di tahun 1982, pengeluaran untuk gaji, bahan bakar, jasa, dan pembelian suku cadang hanya naik 5% - dari Rp 15,75 milyar jadi Rp 16,56 milyar.

Akibatnya, seorang petugas teknik bergaji pokok hampir Rp 4.000, misalnya, setiap bulan hanya bisa membawa pulang penghasilan kotor sekitar Rp 64.000. Padahal, ia sudah bekerja di situ selama tujuh tahun. Sedang penerbang senior Boeing 747 dan DC-10 setiap bulan hanya bisa membawa pulang penghasilan bersih sekitar Rp 610.000 - sesudah dipotong pajak dan sewa rumah dinas. Penghasilan itu jelas kelihatan kecil jika dibandingkan dengan, misalnya, pilot pesawat serupa di Air India, yang konon bisa memperoleh Rp 2,5 juta.

Pemogokan besar pilot di akhir Januari 1980 rupanya belum menghasilkan perubahan. Struktur gaji masih tetap. Hingga kini, seorang pilot DC-9, misalnya, gaji pokoknya masih Rp 6.450. Hanya karena mendapat tunjangan terbang dan sejumlah tunjangan lain, seorang pilot setiap bulan masih bisa membawa pulang beberapa ratus ribu rupiah. Jika pilot…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…