Titik Kompromi Tentara-Polisi

Edisi: 14/47 / Tanggal : 2018-06-03 / Halaman : 26 / Rubrik : NAS / Penulis : Wayan Agus Purnomo, Caesar Akbar, Rezki Alvionitasari


KEPASTIAN revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bakal disahkan pada Jumat pekan lalu tergambar dari pantun Yasonna Hamonangan Laoly. Seusai rapat dengan panitia khusus rancangan undang-undang tersebut sehari sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu membacakan pantun karangannya.

"Burung Irian, burung cenderawasih

Terbang tinggi sekali

Mudah-mudahan undang-undang ini disahkan esok hari

Sekian dan terima kasih...."

Keesokan harinya, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak diajukan pemerintah pada Februari 2016, pembahasan aturan ini sempat terkatung-katung. Desakan untuk merampungkannya menghangat tiap kali terjadi teror. Begitu horor berlalu, pembahasan kembali anyep.

Ketika bom mengguncang Surabaya dan sekitarnya tiga pekan lalu, DPR dan pemerintah kembali kalang-kabut. Presiden Joko Widodo sampai mengultimatum bakal menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika pembahasan tak kunjung rampung. "Kalau nanti di akhir masa sidang di bulan Juni belum diselesaikan, akan saya keluarkan perpu," katanya Senin dua pekan lalu.

Persoalannya, tersendatnya pembahasan revisi ini juga lantaran pemerintah tidak kompak. Pada 23 November 2016, Menteri Pertahanan dan Kepala Kepolisian RI mengirimkan layang kepada panitia khusus yang berisi penjelasan mengenai definisi terorisme. Pada 3 Februari 2017, giliran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang bersurat. Ketiganya membuat definisi terorisme yang berlainan.

Di luar soal definisi, perbedaan suara di kubu pemerintah disebabkan oleh "rebutan" kewenangan antara polisi dan tentara. Perwakilan Tentara Nasional Indonesia gencar melobi panitia khusus agar mereka diberi kewenangan ikut menindak terorisme dalam aturan yang baru. Panglima TNI waktu itu, Gatot Nurmantyo, bahkan sampai turun tangan.

Pada awal 2017, Gatot Nurmantyo mengundang sejumlah anggota panitia khusus ke rumah dinasnya di Menteng, Jakarta Pusat. Politikus yang hadir antara lain ketua panitia khusus dari Partai Gerindra, Muhammad Syafi'i; Risa Mariska dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan. Gatot memaparkan kemampuan intelijen tentara dan pentingnya mereka terlibat dalam penanganan terorisme.

Polisi juga aktif melobi politikus Senayan. Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengundang politikus seperti Trimedya Panjaitan dari PDI Perjuangan, Akbar Faisal dari NasDem, dan Arsul Sani ke rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Syafruddin khawatir tentara dan polisi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?