SEMUA SAJA MATI. SELESAI

Edisi: 41/47 / Tanggal : 2018-12-09 / Halaman : 48 / Rubrik : SN / Penulis : Bambang Bujono., ,


PADA mulanya adalah tubuh. Sembilan nomor pertunjukan di Borobudur Writers and Cul­tural Festival 2018 hampir se­muanya menyajikan bahasa tubuh. Tubuh-tubuh yang bergerak, saling menangga­pi, yang berkomunikasi dengan batu,
gen­dang, bencana, musik. Kecuali Sakyamuni Itu Saja (Perlu Mati) karya Cokorda Sawitri. Pertunjukan Cok, saya rasa, bertumpu dan berkembang pada dan dari puisi.

Sembilan penari dalam remang berjajar empat di kiri dan lima di kanan, dari gelap di belakang muncul perempuan berpayung yang bersuara: “Selesai pada keinginan. Selesai pada lamunan. Selesai juga. Mati itu selesai….” Dengan suara datar hampir tan­pa ekspresi, puisi itu dibacakan sepanjang pertunjukan, membangun suasana sang­kan paraning dumadi, asal dan akhir segala yang duniawi: selesai, mati, kuburan. Di an­tara kata-kata itu kadang terdengar nama-nama: Buddha, Sakyamuni, Kalika.

Penutup adalah imaji kekosongan. Yang berpayung berjalan ke belakang panggung sambil berpuisi: Selesai. Mati. Gelap.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23

Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…

M
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25

Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…

R
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25

Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.