Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati: Ada Upaya Mengerdilkan Aksi Mahasiswa.

Edisi: 32/48 / Tanggal : 2019-10-06 / Halaman : 42 / Rubrik : WAW / Penulis : Reza Maulana, Aisha Shaidra,


SEBULAN terakhir, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati seperti berkantor di jalanan. Bersama rekan-rekannya di Koalisi Masyarakat Sipil, dia bolak-balik berdemonstrasi.

Awalnya, mereka berkonsentrasi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka menolak calon pemimpin KPK dan Rancangan Undang-Undang KPK. Asfinawati, 42 tahun, menilai dua poin itu sebagai pelemahan secara menyeluruh. “Diserang dari dalam seperti kuda troya dan dari luar lewat peraturan,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan rancangan undang-undang tersebut pada 17 September lalu, mereka menggelar “permakaman” di teras gedung KPK.

Dari Kuningan, perhatian Koalisi tertuju ke Senayan. Di Gedung Parlemen, para wakil rakyat tiba-tiba bekerja serba cepat. Namun berbagai kalangan menilai sebagian besar regulasi yang ditetapkan DPR berpotensi mengebiri penegakan hukum, melanggar hak asasi manusia, dan membungkam kritik masyarakat. “Demokrasi bisa mundur,” ujar Asfinawati.

Saat itu, mahasiswa sudah mulai bergerak. Unjuk rasa berlangsung mulai Kamis, 19 September lalu, meski dalam kelompok kecil. Koalisi Masyarakat Sipil bergabung saat aksi massa memuncak pada Selasa, 24 September lalu. Ingatan Asfinawati terlempar mundur ke 21 tahun lalu, saat dia dengan jaket kuningnya berada di lautan Gerakan Mahasiswa 98. “Ini seperti 1998, genuine. Anak yang kuliah-pulang-kuliah-pulang pun ikut demo,” ucapnya. Indikasi lain, kata dia, adalah unjuk rasa yang nyaris tanpa komando. Tiap kelompok datang sendiri-sendiri dan kerap kebingungan mencapai lokasi karena jalan sudah dipenuhi kelompok lain. Menurut dia, mereka digerakkan oleh keresahan yang sama.

Setelah unjuk rasa mereda, Asfinawati sibuk memberi bantuan hukum bagi aktivis dan mahasiswa yang dicokok polisi. Saat menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Aisha Shaidra, di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat pagi, 27 September lalu, dia baru tidur sejenak setelah begadang mendampingi aktivis Dandhy Dwi Laksono yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena cuitannya tentang Papua dituding sebagai provokasi. Asfinawati baru sampai rumah dan kehabisan energi saat mendapat kabar pencidukan Ananda Badudu, musikus yang menggalang dana untuk gerakan mahasiswa. Menurut dia, penangkapan tersebut sama seperti kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa. “Ini upaya pembungkaman berpendapat,” ujarnya.

Sejumlah pejabat tinggi menyebut demonstrasi mahasiswa ditunggangi. Tanggapan Anda?

Itu pernyataan yang tidak menghormati kesadaran mahasiswa, dosen, dan pihak kampus yang memberikan ruang. Aksi ini genuine. Orang datang begitu saja. Anak yang kuliah-pulang-kuliah-pulang pun ikut demo. Orang datang begitu saja. Terpanggil dari berbagai daerah karena keresahan yang sama. Aksi itu menunjukkan tempat penyaluran rasa keadilan masyarakat bermuara.

Ada bukti lain yang lebih konkret?

Aksi ini begitu mudah dipukul mundur. Selain karena ada tindakan represif dari aparat, demo langsung bubar karena tidak ada koordinasi di lapangan. Tidak ada…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…