Soekarno dan Sikapnya Terhadap Romusha

GEDUNG Maria Immaculata, Ende, Flores, tahun 1935-an. Sebuah ru-angan milik keparokian disulap sehingga mirip laboratorium. Pastor kepala, Pastor Huytink, mengizinkan ruangan itu dijadikan tempat pemanggungan tonil berjudul agak ngeri: Dokter Setan. Malam itu, penonton berjubel. Sukarno, para bruder, dan para tamu kehormatan duduk menonton di baris terdepan. Pentas menampilkan seorang tokoh dokter bernama Marzuki dan perawatnya menghadapi sebuah mayat yang teronggok kaku. Di sampingnya terdapatlah sebuah alat mirip generator penuh lilitan kabel. Detik-detik yang mencekam penonton adalah saat sang Dokter mengatakan mayat itu akan dibangkitkan. Kebetulan, pas malam perdana, tatkala sang Dokter mulai menjamah mayat, di luar, guntur menggelegar, hujan deras turun, menimbulkan bunyi ramai atap seng. Dengan tenang Dokter Marzuki memasang sambungan kabel pada bangkai manusia itu. "Willem, naikkan kapasitas mesin," demikian perintahnya kepada pembantunya. "Lebih tinggi, lebih tinggi, dua puluh... tiga puluh... lima puluh ampere!" Seolah-olah akibat disetrum tegangan tinggi, perlahan-lahan mayat mulai bergerak-gerak. Penonton pun ketakutan. Tak banyak yang tahu bahwa Sukarno pernah menjadi sutradara teater. Kisah ini diceritakan Dr. Lambert Giebels, 66 tahun, dalam bukunya: Soekarno, 1901-1950.

Keywords :
Soekarno dan Sikapnya Terhadap Romusha,
  • Downloads :
    0
  • Views :
    29
  • Uploaded on :
    21-12-2023
  • Penulis
    Tim Penyusun PDAT
  • Publisher
    TEMPO Publishing
  • Editor
    PDAT
  • Subjek
    peristiwa
  • Bahasa
    Indonesia
  • Class
    -
  • ISBN
    -
  • Jumlah halaman
    60
Soekarno dan Sikapnya Terhadap Romusha
  • PDF Version
    Rp. 90.000

Order Print on Demand : Print on Demand (POD)