Laporan Utama nomor ini kurang lebih berkisar pada tema itu: bagaimana Mao Tse-tung bersikeras mengubah manusia RRT menjadi "manusia baru" tipe Maois. Dalam usianya yang sudah 81 (flrang tak tabu pasti adakah dia sudah pikun atau belum) ia belum berhasil. Lihatlah misalnya UUD mereka yang diperbaharui. Dalam UUD ini (yang ternyata tidak seradikal seperti yang mungkin diharapkan, 'setelah itu Revolusi Kebudayaan), hak petani untuk mengolah tanah milik pribadinya dijamin: Dengan begitu, selain bekerja untuk tanah pertanian komunal, petani boleh "ngobyek". Maka pasar hasil bumi - satu sendi dari "kapitalisme" -- masih boleh terus, biarpun di tempat yang sering dipakai rapat umum buat mengganyang "kapitalisme". Sudah tentu ini tak cocok dengan cita-cita Mao tentang manusia baru yang sama sekali tak mementingkan insentif materiil bagi dirinya sendiri. Tapi nampaknya tak jadi soal. Mao pernah bilang pada budayawan Andre Malraux: Stalin, ataupun Maxim Gorki tak tabu apa-apa - tentang petani. Sebaliknya Mao merasa tabu banyak tentang mereka dan menyandarkan kekuatannya pada mereka. Tapi akankah ia teruskan benih-benih "kapitalisme" dalam kalangan tani itu? Sementara Mao makin dekat ke liang kubur, masalah itu belum, juga dipecahkan. RRT, memang, akhir-akhir ini sering dipuji oleh cendekiawan Barat sebagai negeri di man tampak jelas kesederhanaan hidup dan keadilan sosial. Tapi sedihnya, RRT kini mulai terbuka pada dunia luar. PM Cou En-lai mulai sibuk meningkatkan produksi. Maka bisa saja suatu masa nanti RRT mau tak mau menjadi seperti Uni Soviet juga mulai senang akan harta dan ogah berjuang lagi.