Ibarat melawan air bah, pengamat ekonomi ini mengemukakan ketidaksetujuannya dengan sikap beberapa pakar ekonomi yang mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Maret lalu. Dia tidak hanya menggunakan asumsi, tapi serenceng data hasil penelitian disodorkannya lewat tim Indonesia Bangkit sebagai penguat argumen. Salah satu poin penting dari penelitian itu adalah bahwa angka kemiskinan akan naik 1,95 persen menjadi 18,61 persen dari total penduduk atau sekitar 40,4 juta akibat kenaikan BBM. Angka ini bertolak belakang dengan asumsi pemerintah berdasarkan rekomendasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) bahwa kemiskinan turun dari 16, 2 menjadi hanya 13,7 persen. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengomentari data itu dengan enteng. "Data itu kan cuma menurut seorang kasubdit di BPS," katanya. Orang yang dimaksud Kalla itu tak lain adalah Hamonangan Ritonga, yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala Subdirektorat Analisis Statistik Lintas Sektor pada Direktorat Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS). Tidak hanya pejabat yang dibuat sibuk dengan pendapat Hamonangan yang selalu disebutnya sebagai pribadi, bukan sebagai staf BPS tersebut. Media juga langsung berebut untuk bisa tahu lebih banyak dasar pemikirannya yang terpaksa harus dikemukakan lantaran lemahnya alasan pemerintah dalam mengambil sikap. "Sejak pagi, saya diwawancarai berbagai media. Saya baru punya waktu satu jam untuk menulis hari ini," kata Hamonangan kepada Herry Gunawan, Nur Hidayat, dan Indra Darmawan dari Tempo yang menjumpainya pada Rabu (16/3) siang di Jakarta.