Pemisahan diri Timor Leste dari Republik Indonesia yang tercetus lewat referendum pada Agustus 1999 menyisakan luka. Luka itu adalah aksi-aksi kekerasan yang menodai proses pemisahan. Sederet tokoh yang dituduh sebagai pelanggar hak asasi manusia kelas berat dibawa ke pengadilan. Seakan mencari lembar penutup luka yang tak kunjung tersembuhkan itu, kedua negara akhirnya membuat proyek bersama bernama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Pembentukan KKP menuai kritik tajam dari kalangan aktivis pembela hak asasi manusia di Timor Leste. Mereka menilai materi Kerangka Acuan KKP yang diteken Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao pada 9 Maret 2005 di Istana Negara, Jakarta, buruk dan tergesa-gesa. Pekan lalu, mereka memperkuat barisan, bersekutu dengan sejumlah kelompok pembela HAM Indonesia untuk melabrak pemerintah kedua negara. Dalam jumpa pers yang difasilitasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat lalu, aliansi LSM mencurigai ada deal politik di balik pembentukan KKP (Tempo, 14/3). Yang membuat mereka marah terutama adalah tersisihnya unsur pencarian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Timor Leste. Penyisihan itu bisa ditelusuri dari salah satu kalimat di pembukaan Kerangka Acuan KKP: "Sistem penuntutan keadilan tentunya dapat mencapai satu tujuan, yaitu untuk menghukum pelanggar; namun tidak selalu dapat mengungkap kebenaran dan mendukung rekonsiliasi." "Keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak," kata Koordinator Kontras Usman Hamid tentang pembentukan KKP. Menurut Usman, keputusan itu jelas mengingkari tuntutan keadilan korban "pelanggaran serius" HAM.