Ziarah Hening Hendrawan

DI bawah siraman cahaya lembut lampu merkuri, dua buah lonceng terbuat dari susunan batu bata setinggi sekitar 170 sentimeter berdiri di lantai. Posisinya seperti sebuah cangkir yang tertelungkup. Tapi, inilah lonceng tanpa "mulut": lingkaran permukaannya seolah-olah sudah menembus, terbenam di lantai yang berpasir dan bersemen. Waktu itu, di ruang pameran Bentara Budaya, Jakarta, sepanjang 21-29 Februari, terdapat bangun berbentuk genta, bel, dan kelenengan. Lima buah obyek masing-masing seukuran tubuh manusia, dengan tekstur batu bata, tapi dengan wujud yang tak utuh: hanya bagian "punggung" yang masih bertahan di atas permukaan tanah. Hendrawan Riyanto, seniman kreator karya-karya instalasi, yang bertanggung jawab atas "pembungkaman" alat-alat penghasil suara itu, tetap pada pendapatnya. Ia yakin sang suara tetap hadir. Penjelasannya bersahaja, tapi rada filosofis. "Kalau Anda melihat sosok lonceng, imajinasi Anda akan mendengar suara, karena suara itu sudah ratusan tahun akrab dengan manusia," kata dosen Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu. Ya, lewat karyanya yang diberi judul Ning (hening), Hendrawan ingin menyatakan bahwa bunyi atau suara tidak hanya bisa didengarkan secara indrawi. Suara itu ada dalam rasa. Menurut "keramikus" tersebut, hening tak selalu senyap. Dan di dalam senyap tak hanya ada diam. Jadi, suara tak selalu berasal dari penimbul bunyi, suara bisa hadir dalam imaji.

Keywords :
Ziarah Hening Hendrawan,
  • Downloads :
    0
  • Views :
    72
  • Uploaded on :
    24-12-2023
  • Penulis
    PDAT
  • Publisher
    TEMPO Publishing
  • Editor
    Tim Penyusun PDAT: Ismail, Asih Widiarti, Dani Muhadiansyah, Evan Koesumah
  • Subjek
    Seni & Hiburan
  • Bahasa
    Indonesia
  • Class
    -
  • ISBN
    -
  • Jumlah halaman
    60
Ziarah Hening Hendrawan
  • PDF Version
    Rp. 75.000

Order Print on Demand : Print on Demand (POD)