Pengembaraan Wim Wenders Dalam Sinema

Edisi: 31/28 / Tanggal : 1999-10-10 / Halaman : 39 / Rubrik : LAY / Penulis : Chudori, Leila S. , ,


"Apakah hidup dibawah matahari ini adalah sebuah mimpi...ketika waktu dimulai dan ruang telah berakhir?"

(Der Himmel ueber Berlin, Wings of Desire)

DI langit Berlin ada sepasang malaikat Damiel dan Cassiel. Mereka memiliki sepasang sayap, tapi tak memiliki darah dan keringat. Mereka mampu membaca nurani dan pikiran manusia, tapi tak mampu mengubah takdir. Maka, suatu ketika, saat Damiel (diperankan Bruno Granz) bertemu dengan seorang pemain sirkus jelita bernama Marion (Solveig Dommartin), ia pun memutuskan "melepas" sayap-sayapnya untuk terbang bersama "sayap-sayap" yang memperkenalkannya kepada rasa cinta dan gairah: wings of desire....

Inilah kisah dua malaikat dalam film Wings of Desire karya Wim Wenders, yang menjadi pembuka dalam acara Pameran Foto dan Pemutaran Film Karya Sineas-Fotografer Jerman Wim Wenders. Acara yang diselenggarakan Galeri Foto Jurnalistik Antara atas kerja sama dengan Goethe Institut ini-masih berlangsung di Jakarta hingga akhir pekan dan dilanjutkan di Bandung hingga pertengahan Oktober-memutar delapan dari puluhan karya Wim Wenders, sineas terkemuka yang namanya melejit sejak meraih kemenangan Palme d'Or di Festival Film Cannes pada 1984 untuk film Paris, Texas.

Dalam pameran foto-menampilkan karya panorama Australia-dan film-filmnya, Wenders menunjukkan diri sebagai seorang pengembara sejati. Wenders identik dengan kembara, dengan perjalanan. Ia hidup dan tinggal dalam "pengembaraan" sepasang matanya. Itulah sebabnya ia menamai perusahaan filmnya Road Movies dan itulah sebabnya dunia yang ditampilkannya dalam fotografi dan sinema adalah dunia sebagai sebuah tempat transit, tempat persinggahan di mana manusia, ruang, dan waktu adalah sesuatu yang fana.

Lahir di dekat Sungai Rhein, Duesseldorf, 14 Agustus 1945, dengan nama Ernst Wilhelm Wenders, ia lebih dibesarkan di rumah kakeknya, satu-satunya rumah yang selamat di antara puing-puing bangunan yang musnah akibat Perang Dunia II.

"Kenangan pertama saya adalah puing-puing, tumpukan reruntuhan, corong-corong asam yang seperti jari-jari sedang menuju ke langit, sebuah trem yang bergerak melintasi bukit reruntuhan...." Tampaknya, itulah masa awal Wenders yang membawanya pada suatu "kesenian memandang dan melihat", the art of seeing, yang kemudian menjadi salah satu inti dari karya-karya sinematiknya.

Masa pertumbuhannya yang diwarnai perpindahan yang kerap itu pula yang memengaruhi keinginannya untuk terus mengembara: empat tahun di Koblenz, kembali ke Duesseldorf, masuk SMU di Benrath, hingga akhirnya kuliah kedokteran di Breisgau, Freiburg. "Namun, kuliah itu tak selesai seperti halnya kuliah psikologi, filosofi, dan sosiologi," tutur Wenders dalam sebuah wawancara. Ia berhasil menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi Film dan Televisi di Muenchen. Dan mulailah ia mengepakkan sayapnya sebagai seorang kritikus film dan sineas. Perjalanan penting dalam…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…