Sebuah Panggung tanpa Kata

Edisi: 16/28 / Tanggal : 1999-06-27 / Halaman : 48 / Rubrik : LAY / Penulis : , ,

KASSIAN Cephas ada dalam foto-foto berumur 100 tahun. Dari jejak-jejak masa lalu itu ia merajut sejarah, detail demi detail peristiwa. Maka, jadilah sebuah panggung luas yang bercerita tanpa kata-kata. Melalui mata dan kamera Kassian Cephas, kita menyaksikan kebesaran Kesultanan Yogyakarta pada suatu masa, dengan kanjeng sultan dan gusti ratu sebagai penguasa. Di panggung yang sama, kita menonton sekar kedaton menarikan srimpi dan bedhaya dengan mata bermimpi. Atau, Pangeran Hamengkunegoro III melakonkan Gatotkaca menggendong Pregiwa.

Cephas ada bersama sejarah, tatkala kolonial Belanda "ikut memerintah" dari dalam kesultanan: Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII bergandengan tangan dengan Asisten Residen F.C.A. Jeekel, memimpin prosesi Garebeg pada 1884. Cephas merekam kehadiran sang asisten residen-didampingi patih dan dua pegawai tinggi istana-memimpin pengadilan kriminal di Sitihinggil, Yogyakarta, pada 1886.

Dan nasib berpihak kepada Cephas tatkala relief Borobudur ditemukan pada 1855. Itulah Karmawibangga, kaki Borobudur yang melukiskan kaki neraka. Dengan kamera modern yang dibawa dari Negeri Belanda oleh salah seorang "guru"-nya, Isaac Groneman, Cephas memotret 164 foto relief dan foto situasi umum Candi Borobudur. Sudut candi itu ditutup tak lama setelah Cephas menyelesaikan pemotretan itu.

Latar pemotretan, obyek, suasana, ibarat panggung bagi Cephas. Sebuah latar yang ia kenal geografinya, tanpa harus berada di atasnya. Yudhi Soerjoatmodjo, kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), melukiskan peran Cephas dalam fotografi ibarat seorang penonton ketimbang kreator. Ia menonton panggung, lalu…

Keywords: -

---

Foto Terkait