Sebuah Jendela di Senja Hidup Pram

Edisi: 09/28 / Tanggal : 1999-05-10 / Halaman : 39 / Rubrik : LAY / Penulis : Gaban, Farid , Bintari, Nurur Rokhmah , Dewi Rina Cahyani


PENAMPILANNYA bersahaja--terlalu bersahaja. Namun, ada yang sedikit aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin ketik yang erat ditentengnya, dalam perjalanannya menuju New York awal April lalu itu.

Mesin ketik mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer--seperti tokoh dalam novel fiksi-sains klasik karangan H.G. Wells--merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama sekali berbeda?

Kota mancanegara terakhir yang dikunjunginya adalah Beijing, sekitar 40 tahun silam, sebuah ibu kota negeri komunis terbesar yang pernah menjadi sumber kekaguman baginya.

Sementara New York? Pram datang ketika indeks saham Dow--simbol kedigdayaan kapitalisme Amerika itu--menjilati angka tertinggi sepanjang sejarahnya; ketika Microsoft, bersama Intel Pentium, terus merangsek mesin-mesin ketik seperti miliknya masuk ke museum barang antik. Dan hanya beberapa tahun sebelum kedatangannya, seorang Francis Fukuyama mengumumkan "berakhirnya sejarah", menyusul kolapsnya komunisme.

Bagaimanapun, sejarah belum berakhir--juga bagi Pram. Menjelang 75 tahun usianya, dia justru baru saja menyibak satu lagi lembar sejarah pribadinya.

Pram datang ke New York untuk menghadiri sebuah perhelatan, satu dari sedikit momen yang mungkin paling membahagiakannya: peluncuran buku The Mute's Soliloquy--edisi bahasa Inggris dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah kolase pengalaman pribadi, surat untuk anak-anaknya dan permenungannya di Pulau Buru. Gumamnya yang pahit itu, akhirnya, memperoleh pendengar yang lebih luas.

Itu bukan sambutan hangat pertama yang diterima Pram dari kalangan internasional. Karya sastranya yang menjulang dari peri hidupnya yang mengiris--berkat penindasan dan pemberangusan Orde Baru--telah melambungkan namanya. Tak hanya banyak karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, melainkan juga memperoleh berbagai penghargaan, termasuk "Freedom to Write Award" dari organisasi PEN di Amerika Serikat pada 1988.

Namun, inilah pertama kali dia mendapatkan kembali kemerdekaannya yang lebih hakiki, kemerdekaan yang tak pernah sempurna diperolehnya, bahkan setelah lama dia dibebaskan dari Buru. Kali ini dia punya paspor dan bisa hadir sendiri dalam sebuah acara di luar negeri--sesuatu yang mustahil di era Soeharto.

Pram absen di Manila ketika, pada 1995, yayasan setempat menganugerahinya "Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…