Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih

Edisi: 09/28 / Tanggal : 1999-05-10 / Halaman : 47 / Rubrik : LAY / Penulis : Kleden, Ignas , ,


PRAMOEDYA ist ein Begriff---Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit. Pramoedya memang telah membuat namanya menjadi sebuah pengertian jauh sebelum diasingkan selama 14 tahun. Namun rupanya belantara pengasingan itulah yang memberinya pengertian tentang sejarah Indonesia dan bahkan tentang manusia dalam sejarah.

Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru--Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca--adalah menelusuri riwayat hidup Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya, bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup menulis dengan pisau belati. Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah berhadapan dengan sebuah thick description tentang keadaan Hindia Belanda di Pulau Jawa pada saat pergantian abad, sementara dengan mengikuti lukisan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, kita belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya.

Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan Marx, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl Popper). Adalah unik bahwa Pramoedya sendiri telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam pandangannya, sejarah adalah gelombang dahsyat yang siap menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi sampah di pantai.

Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang. "Kita kalah, Ma, bisikku." "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya". Itulah kalimat penutup buku Bumi Manusia yang dengan keindahan yang getir menunjukkan persaingan abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.

Di tangan Pramoedya, sejarah selalu merupakan kisah tentang unggulnya kekuatan-kekuatan anonim dalam suatu zaman, yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi gagal menghentikan seseorang untuk mengatakan "tidak!" Weltanschuung pengarang ini mirip kombinasi antara keberanian dan kerendahan hati sekaligus: sejarah akan mendesakkan diri ke mana saja, tetapi manusia tetap tak terkalahkan.

Apakah karena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkungkung di bawah kekerasan patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang menjadi kawan seperjuangan pengarang menghadapi kekerasan politik? Ataukah oleh hormat kepada tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi pengarang?

Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan sebarisan srikandi, sebagai pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya kepada…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…