Kisah-Kisah Perburuan, dan Juga Konsekuensinya

Edisi: 01/16 / Tanggal : 1986-03-01 / Halaman : 49 / Rubrik : KEC / Penulis : TIM KECAP DAPUR, ,


DI BALIK BERITA

LIMA belas tahun bukan waktu yang panjang. Toh, terasa jauh sudah sejak bunyi "Kraak Minarni, "atau huru-hara Malari. Lalu terasa bahwa yang dicatat dan direkam pers adalah juga sejarah.

1971
Nomor Perdana:
Tragedi Minarni

APA yang hendak ditunjukkan oleh sebuah majalah berita baru? Bunyi "Kraak" Dalam Tragedi Minami adalah sebuah judul berita yang tak lazim di awal 1970-an. Tapi itulah yang dipilih TEMPO nomor perdana - yang tanpa tanggal itu -untuk laporan utamanya Judul yang segar, yang menimbulkan minat orang untuk membaca isi beritanya demikian harapan para pengasuh majalah baru ini. Agaknya, bukan harapan kosong. Untuk selanjutnya, judul-judul di TEMPO kurang lebih memang diusahakan seperti itu, Tempo, seperti ditulis dalam Pengantar Redaksi di nomor gratis itu. berpendapat, bahasa yang mandek tak akan merangsang kreativitas."

Dan sebagai majalah yang baru berangkat, laporan utama itu - tentang Asian Games VI di Bangkok, akhir 1970 - diliput dengan segala perjuangan. TEMPO, yang waktu itu bahkan belum mengantungi Surat Izin Terbit, mengirim dua wartawannya, Lukman Setiawan dan Usamah. Toh karena Lukman juga harus membuat foto di samping reportase, tugas ini mirip "mengemudikan dua mobil sekaligus seorang diri," katanya, dulu itu. Tentu saja mereka berdua berangkat tanpa rencana mengenai apa saja yang nantinya mau ditulis. Akibatnya, laporan kasar Lukman mencapai jumlah 65 halaman folio ketik, Yang mana yang mau ditulis?
Untunglah, baru 31 Desember 1970 TEMPO mendapat SIT, dan baru 12 Januari 1971 Surat Izin C (waktu itu "Tj”)etak keluar Jadinya. TEMPO punya waktu untuk menyeleksi bahan yang perlu - dan sempat menulis satu segi yang - setelah beberapa minggu Asian Games berakhir - masih cukup hangat dibicarakan di Indonesia.

Dalam sejarah TEMPO selanjutnya, pengiriman wartawan untuk meliputi peristiwa olah raga terjadi beberapa kali. Rudy Novrianto meliput SEA Games XII, Mei 1983 di Singapura. James R. Lapian dan Martin Aleida meliput Piala Thomas di Kuala Lumpur, Mei 1984. Bambang Harimurty, meski tak meliput pertandingan olah raganya, melaporkan kesibukan orang Amerika dalam persiapan menyelenggarakan Olimpiade ke-23, Juni 1964, Marah Sakti meng-cover Pesta Sukan di Brunei, Maret 1965, dan Pra Piala Dunia di Seoul Juli 1985. Dan Desember 1985. Amran Nasution bersama Didi Prambadi dikirim ke Bangkok meliput SEA Games XII.

Golput

MENJELANG Pemilihan Umum 1971, muncul “partai" baru disebut Golput atau Golongan Putih. Ini kelompok yang dilahirkan oleh sejumlah mahasiswa dan cendekiawan. Mereka merasa bahwa 10 partai politik waktu itu tak satu pun yang mewakili aspirasi politik mereka. Itu sebabnya para Golputwan dan Golputwati lalu menganjurkan agar orang nyoblos saja bagian putih dan kesepuluh tanda gambar, alias tak memilih. Laporan pertama TEMPO tentang kelompok ini muncul di nomor 3 Juli 1971. Sebuah laporan yang bernada editorializing. Yakni, penyajian berita yang lebih bersifat analisa, dan tak menabukan secercah pendapat dari penulisnya.

Cara penyajian seperti itu bukan soal baru, memang. Dalam perjalanan TEMPO selanjutnya, editorializing bukannya jarang. Mungkin gaya ini mirip gaya jurnalisme baru yang pernah populer itu. Bedanya, TEMPO tetap membatasi hingga tulisan itu tak menjadi "menurut pendapat saya". Batasnya, antara yang "pendapat saya" dan yang editorializing, memang agak transparan, yakni sejauh pendapat di dalam berita itu didukung data dan fakta, dan akal sehat.

TEMPO memang bukan sebuah harian yang harus menyajikan straight news, Selain gaya editorializing, tak jarang pula sebuah laporan didampingi esei atau kolom. Umpamanya dalam laporan pertama tentang Golput itu, disertakan pula esei Goenawan Mohamad. Dengan tinjauan dari banyak segi, diharapkan sebuah berita bisa lebih komunikatif "menghilangkan prasangka, mengkomumikasikan pengertian," seperti ditulis dalam Pengantar Redaksi nomor perdana TEMPO. Contoh lain - bagaimana TEMPO berupaya menyajikan berita hingga masalahnya bisa dilihat lebih lengkap - adalah laporan utama perihal bromocorah, 7 Maret 1981. Waktu itu, sebuah kolom tentang sejarah bromocorah, yang ditulis oleh ahli sejarah Onghokham menjadi bagian dari keseluruhan laporan tersebut.

Rendra

MENGAPA Rendra? Di awal 1970-an setelah pulang dari Amerika Serikat eksperimen-eksperimen Rendra dalam teater mencerminkan semangat kreativitas kehidupan kesenian Indonesia.

Waktu itu pencarian idiom, bentuk, konsep baru mewarnai atmosfer kesenian kita. Selain itu, nama Rendra - karena eksperimennya dan juga ulah hidupnya - dikenal tak cuma dalam kalangan seminari. Dua alasan itu saja cukup kuat untuk mengangkat penyair dan dramawan ini sebagai laporan utama Tempo edisi tahun pertama nomor keempat.

Dalam laporan utama itulah untuk pertama kalinya TEMPO mengangkat seorang pribadi yang unik, yang menonjol secara meyakinkan dalam bidangnya, dan yang membawa suasana serta pemikiran baru. Sesudah itu, banyak pribadi ditampilkan Antara lain Mukti Ali, 2 Oktober 1971. la adalah menteri agama pertama kali yang bukan datang dari kalangan tradisional maksudnya pesantren atau partai. Ia, yang datang dari kampus memang seorang intelektual. Menyusul Nurcholish Madjid. dalam TEMPO 29 Juli 1972. Seorang tokoh muda Islam yang muncul dari Pondok Gontor, Ja wa Timur, yang membawa saran cara baru memahami dunia Islam. Kemudian Benyamin S., 1 Januari 1977, penyanyi yang mengangkat gaya Betawi ke khazanah musik nasional. Lalu Titiek Puspa, 12 November 1977, seorang pencipta lagu yang ciptaannya selalu sukses, jadi hit, digemari tua dan muda. Boleh juga disebut Fuad Hassan, 3 Agustus 1985, yang ditampilkan TEMPO bukan sebagai Menteri P & K, terutama, tapi sebagai sosok pribadi yang unik, yang cenderung menolak basa basi. Ia, misalnya, bisa dengan enak turun dari mobil untuk membantu mendorong mobil mahasiswanya yang mogok.

Untuk jenis laporan macam ini, tak jarang wartawan TEMPO mesti mengikuti sang tokoh ke mana pergi, untuk menangkap keunikan pribadi mereka

1972
Antre Beras

BUKAN soal peliputan antre berasnya yang menarik, ketika TEMPO menurunkan laporan utama soal ini, 16 Desember 1972. Bila waktu itu dari Jakarta dikirimkan Reporter Martin Aleida (pada 19B4 ia pindah bekerja untuk televisi Jepang NHK), dan Redaktur Foto Ed Zoelverdi ke Solo -salah satu kota yang terkena “wabah" antre - memang ada alasannya. Yakni, ada tugas khusus buat Ed untuk mengabadikan peristiwa, yang menurut bayangan TEMPO di Jakarta, pemandangan di Solo itu pasti mengharukan, Orang-orang dengan wajah pucat, iloyo, membawa panci, bakul, berderet untuk mendapatkan beras, dan ada pula ibu-ibu yang antre sambil menggendong bayinya

Ternyata, memburu foto antre beras tidak mudah. Pertama, antrean itu tak setiap waktu ada, dan tempat pembagian atau penjualan beras ternyata berpindah-pindah. Ketika wartawan TEMPO mendengar informasi bahwa di suatu kampung malam itu ada antrean, buru-buru Ed Zoelverdi mendatangi tempat itu. Yang ditemukan memang antrean, tapi antrean kaleng-kaleng kosong - penjualan akan dilakukan pagi hari, dan kaleng-kaleng itu menjadi semacam tanda pesan tempat

Baru setelah menunggu dengan sabar, ditemuilah antrean itu. Masih juga ada masalah, begitu Mat Kodak TEMPO mengintai dan lubang kamera, begitu yang antre melengos, atau justru menatapkan wajah lurus-lurus ke arah lensa. Singkatnya, tak mungkin didapatkan foto berita yang baik bila obyeknya berulah begitu itu. Namun, bila dalam TEMPO nomor antre itu akhirnya ter sajikan foto foto menarik, yang menggambarkan kecemasan para ibu menunggu giliran mendapatkan besar, akhirnya Ed memang tidak sia-sia.

Menugasi khusus fotografer mengabadikan peristiwa yang dianggap penting memang kemudian jadi tradisi TEMPO - tak hanya untuk laporan utama. Misalnya, ketika berlangsung gerhana matahari, Juni 1983. Fotografer Ilham Soenharjo dikirim ke Tanjungkodok, Jawa Timur. Di daerah itulah memang yang disebut-sebut sebagai tempat paling bagus guna mengamati matahari. Tak sesulit Ed mencari orang antre, toh, Ilham tetap menghadapi masalah soal izin memotret dan satu lokasi tertentu. Tak jelas mengapa begitu. Mungkin, karena kala itu disiarkan bahwa mengamati matahari yang lagi gerhana, biar sekejap, sangat berbahaya bagi mata. Orang-orang memang diminta berdiam saja di dalam rumah. Tapi bagaimana wartawan bisa memotret gerhana dengan baik dan dalam rumah?

Apalagi untuk TEMPO, yang sejak awal menganggap foto salah satu unsur penhng, Majalah ini tak ingin halamannya "gundul hagatkan lapangan bola" - baik ketika menyajikan laporan antre beras maupun ketika menerbitkan laporan swasembada beras, 16 November 1985.

1973
RUU Perkawinan

RENCANA jangka panjang bukan cuma milik Bappenas. Sebagai majalah mingguan yang harus muncul dengan satu topik yang dilaporanutamakan, TEMPO menghadapi risiko mati angin. Maka itu, ada daftar laporan utama "cadangan", bila sewaktu-waktu berita besar lagi sepi. Cadangan itu cuma sekadar nama. Persisnya, rencana laporan utama ini memilih topik-topik berita yang bisa awet disimpan yang sewaktu-waktu bisa ditulis bila ada newspeg-nya

Itu yang terjadi pada laporan utama tentang perceraian Rachmawati, 30 Juni 1973. Tahun itu, HUU Perkawinan (RUUP) memang sudah jadi pembicaraan. Maka itu, jauh-jauh hari Syu'bah Asa, asisten editor -kini redaktur pelaksana - sudah menyiapkan esei tentang pengadilan agama, masalah perkawinan di Indonesia, dan kedudukan wanita menurut Islam. Maka, ketika newspeg itu muncul dan bahan yang sudah ada, tinggal ditambah bahan baru.

Pada tahun 1970 an itu daftar laporan utama cadangan sunnah sifatnya, tapi awal 1980-an menjadi wajib; dibentuk satu tim laporan utama cadangan yang mengadakan rapat sekali sebulan. Tim ini sampai awal Maret 1986 dipimpin oleh Susanto Pudjomartono dan A Margana. Hasilnya, antara lain, laloran utama tentang tenaga kena Indonesia, 2 November 1985. Juga tentang pemberhentian masal karyawan swasta atau PHK 21 September 1985.

Bea Cukai Priok

DUA belas tahun sebelum Inpres No. 4 turun, TEMPO telah mereportase berbelit belitnya prosedur pembayaran di Bea Cukai, Administrator Pelabuhan, dan semua unsur administrasi di Tanjung Priok, Jakarta. Ketidakberesan pertama yang ditemukan tim wartawan TEMPO yang mengamati Priok, pelabuhan ini menampung 60% barang masuk ke Indonesia yang lewat laut. Yang kedua, adanya 26 pintu yang bagaikan menuju terowongan siluman, yang masing-masing menunggu sesaji bila orang mau…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
ADA YANG PERGI ADA YANG DATANG TAPI...
1983-03-12

Amir daud menjalani pensiun dan beralih menjadi salah satu pengelola harian the jakarta post. dahlan…

M
MEREKA YANG AKAN DATANG
1983-03-12

Tahun ini tempo mencari 10 tenaga reporter. tempo mengadakan angket kepada 400 orang yang melamar…

B
BUKAN AKHIR YANG HITAM...
1981-03-07

Kini majalah tempo telah berusia yang ke-10. perbaikan-perbaikan dilakukan untuk meningkatkan mutu majalah dengan berbagai…