Pokok & Tokoh

Edisi: 01/16 / Tanggal : 1986-03-01 / Halaman : 70 / Rubrik : KEC / Penulis : TIM KECAP DAPUR, ,


Moehtar Maryono

BIARPUN peralatan canggih, dan teleks sampai telecopier, tersedia untuk menunjang pekerjaan redaksi, TEMPO hampir tiap hari tetap mengirim tenaga manusia ke Bandara Soekarno - Hatta, Cengkareng. Yang diambil, yang terbanyak foto-foto, kiriman dari daerah, juga laporan dari luar negeri. Tugas itu dibebankan kepada Moehtar Maryono, 33, yang sehari-hari cukup dipanggil Nano. "Sering harus bertegang leher dulu dengan petugas Bea Cukai atau Kejaksaan kalau kiriman itu datang dari luar negeri," tutur Nano.

Sebelum bertugas di Sekretariat Redaksi (selain ke Cengkareng ia juga mengagendakan setumpuk surat masuk) Nano bekerja di Bagian Iklan. Tugasnya sama - dan mengharuskannya berkeliling Jakarta dengan sepeda motor kantor. Kalau tiba-tiba ban motor kempis atau kehujanan di jalan, pekerjaan saya terhambat," tentu saja. “Apalagi setelah bertugas di Sekretariat Redaksi. Kalau telat akan mengganggu deadline -jadi hujan harus diterobos, asal dokumen atau foto foto tidak basah."

Lantas di mana sukanya? "Ya, kalau pekerjaan lancar," itu saja, kata Nano sambil asyik mendengarkan lagu yang mengalun kecil dari radio monitor. Nano ini anak muda yang taat ibadat. Untuk pengiriman atau titipan apa pun, tentu ia bisa dipercaya.

Slamet Djabarudi

INGAT Sum Kuning, ingatlah sahabat kami, Slamet Djabarudi. Ketika Sum Kuning mengadu ke polisi Yogya tentang perkosaan terhadap dirinya, pihak kepolisian tidak percaya. Malah menuduh Sum Kuning membuat laporan palsu yang mencemarkan sejumlah anak penggede. Sum ditahan dan, belakangan, diadili. Adapun Slamet Djabarudi - yang waktu itu wartawan mingguan Pelopor Yogya - ikut juga ditahan. Ia menulis berita yang melawan arus. Soalnya, Slamet yakin Sum Kuning benar.

Sembilan hari di asrama Polri Suryoputran, Yogya, Desember 1970, Slamet akhirnya dibebaskan karena turun tangannya PWI. Keluar dari tahanan, Slamet yang ketika itu masih bujangan bersumpah: "Aku tidak akan memotong rambut sebelum kasus Sum Kuning ini terbongkar tuntas kecuali rambutku dicukur paksa." Akhirnya seperti yang Anda tahu - atau telah menonton filmnya - Sumpah Palapa Slamet ini bertuah, Sum Kuning dibebaskan dan pemerkosanya ganti diadili. Slamet Djabarudi pun akhirnya mencukur rambutnya yang hampir sebahu.

Enam bulan setelah tragedi itu Slamet meninggalkan kota kejahilannya Yogya mengadu untung di Jakarta. Ia diterima di harian Indonesia Raya, menjadi reporter kepolisian di koran pimpinan Moehtar Lubis itu sampai IR dibreidel sesudah peristiwa Malari, 1974. Menganggur beberapa bulan, nah, akhimya bergabung dengan TEMPO - Juni 1974 - juga sebagai reporter yang banyak menulis laporan kriminalitas dan hukum.

Ketika majalah ini mulai memperhatikan secara saksama kesalahan-kesalahan tata bahasa, ejaan, dan salah cetak, Slamet menjadi "peneliti' di Bagian Redaksi. Tugasnya setiap minggu memberi saran-saran perbaikan bahasa - hal yang sebelumnya dikerjakan Syu'bah Asa dan Budiman S. Hartoyo, di luar kelembagaan formal. Sejak itu, 1979, Slamet oleh teman temannya diberi gelar kiai. Terutama karena ia mengembangkan tugasnya dengan menjalin hubungan aktif dengan Pusat Bahasa dan menyaring segala jenis publikasinya.

Ketika perusahaan yang menerbitkan TEMPO ini punya proyek buku - sekarang sudah berkembang menjadi PT Pustaka Grafiti Pers - Kiai Slamet bergabung ke sana, menjadi editor. Hanya setahun pada 1981 kiai yang punya tiga anak ini ditarik kembali ke Redaksi. Sempat sebentar menjadi koordinator rubrik Kontak Pembaca dan Komentar, terakhir, sejak September 1983, bertugas sebagai editor naskah. Setiap hari ia nongkrong di depan layar rnycro-tek, mengawasi akurasi berikut tata bahasa dan ejaan setiap naskah yang akan turun.

Kalau sampai sekarang di TEMPO masih ada kesalahan tata bahasa dan ejaan, ya, barang kali Kiai sedang mengantuk. "Sejak Oktober tahun lalu saya sendirian. Eddy Soetriyono, yang semula mendampingi saya, ditarik ke majalah Swasembada," kata Slamet. "Yang saya khawatirkan, kalau saya sakit. Wah, tak ada penggantinya" ujar kiai yang cukup sabar dipanggil kiai ini. Bukan apa-apa: di Solo, Kiai Slamet adalah nama kerbau "keramat" milik Kasunanan.

Bunga S.

A YAHNYA, almarhum, aktor film dan sutradara spesialis film perang. Ibunya, selain artis juga pemimpin teater anak-anak. Tetapi Bunga Cumbuan Kejora - nama panjang yang tak pernah dipakainya sekarang - tak merasa punya gairah meliput kegiatan kesenian atau mewawancarai para artis, kalau tidak terpaksa sekali. Ia lebih mudah berurusan dengan polisi. "Kalau dipikir-pikir lucu kok saya dulu benci banget sama polisi; kesan saya, mereka galak dan tidak terlalu pandai," ujar Bunga Surawijaya.

Menjadikan polisi sumber berita memang lain dibanding berhubungan dengan direktur perusahaan atau pejabat suatu instansi. "Kalau kita cari berita di kepolisian, ya kita berkunjung biasa saja, ngobrol dulu macam-macam, soal lagu, soal cewek, soal lontong sayur, pokoknya ramah-tamah. Setelah itu baru tanya macam-macam. Jadi tak ada janji-janjian kayak pejabat pejabat itu."

Lahir di Jakarta 2 November 1959. Bunga masuk TEMPO sebelum skripsinya jadi, April 1993. Begitu keluar surat pengangkatannya di TEMPO, Bunga meninggalkan majalah ini enam bulan untuk urusan skripsi itu. Dan aktif kembali Juli 84, setelah lulus di FISIP UI "Entah kenapa, saya diberi tugas di kepolisian; 75 persen laporan saya soal kriminalitas," katanya. Toh, Bunga sehari-hari tetap bagai bunga kejora dan sama sekali tidak bertampang kriminal.

Bambang Halintar

OPLAH majalah ini pernah anjlok - -tahun 1974. Bermacam sebab dan bermacam resep untuk bangkit dicari. Salah satunya, pada 1975, adalah usul Bambang Halintar: mencari kucing sebanyak-banyaknya. “Kucing apapun, asal bisa menangkap tikus, kita cari." ujar Bambang kepada Hiujana Prajna, atasannya waktu itu. Pasangan Bambanu - Hiu lalu berkeliling ke seluruh Jawa, mengendarai Honda Life yang mungil itu.
Mencari kucing? "Istilah saya waktu itu untuk agen adalah kucing," katanya. Maksud saya, orang-orang yang gesit kayak kucing yang bisa menagkap sasaran, he-he-he .”

Akhirnya Bambang yang sudah bergabung dengan TEMPO tiga bulan sebelum nomor pertama majalah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
ADA YANG PERGI ADA YANG DATANG TAPI...
1983-03-12

Amir daud menjalani pensiun dan beralih menjadi salah satu pengelola harian the jakarta post. dahlan…

M
MEREKA YANG AKAN DATANG
1983-03-12

Tahun ini tempo mencari 10 tenaga reporter. tempo mengadakan angket kepada 400 orang yang melamar…

B
BUKAN AKHIR YANG HITAM...
1981-03-07

Kini majalah tempo telah berusia yang ke-10. perbaikan-perbaikan dilakukan untuk meningkatkan mutu majalah dengan berbagai…