Joko Tingkir Penaksir Tsunami

Edisi: 52/41 / Tanggal : 2013-03-03 / Halaman : 60 / Rubrik : ILT / Penulis : Erwin Zachri , ,

MENJELANG subuh pada 6 April 2010, suara sirene meraung-raung di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, pertanda tsunami akan menerjang. Tanda bahaya itu berbunyi akibat gempa berkekuatan 7,8 moment magnitude (Mw) menggoyang perairan dekat Kota Sinabang. Lama ditunggu, tsunami tak terjadi.

Enam bulan kemudian, raungan sirene giliran terdengar di Mentawai. Gempa dengan kekuatan 7,6 Mw terjadi di perairan sebelah barat Bengkulu dekat Kepulauan Mentawai. Kali ini tsunami menyapu daratan. Tak kurang dari 502 penduduk tewas.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sudah memperingatkan warga di kedua tempat itu akan terjadinya tsunami. BMKG berpatokan pada kriteria Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Jika ada gempa di atas 7,0 Mw dengan episentrum di laut dan kedalaman kurang dari 100 kilometer, tsunami berpotensi terjadi.

Hanya, pertanyaannya, mengapa dua peristiwa yang telah memenuhi syarat kriteria InaTEWS itu menghasilkan kejadian berbeda? Ini yang mengganggu pikiran Madlazim, dosen fisika di Universitas Negeri Surabaya. Dia heran mengapa InaTEWS kurang akurat dalam memberi sinyal apa yang akan terjadi. \"Pasti ada parameter lain yang lebih berpengaruh dan sensitif dibanding parameter yang selama ini dipakai InaTEWS,\" ujarnya.

Lantaran penasaran, ia lantas melakukan riset ke sejumlah lembaga, termasuk BMKG. Bermodalkan seperangkat komputer dengan spesifikasi cukup tinggi, Mad­lazim mencoba membuat program yang bisa membaca peluang terjadi tsunami setelah gempa. Selama 14 bulan ia berfokus pada proyek tersebut dan menamai program ini Joko Tingkir.

Usaha…

Keywords: -

---

Foto Terkait