Padamu Negeri 40 Tahun Garuda ...
Edisi: 49/18 / Tanggal : 1989-02-04 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :
Sambutan Direktur Utama
Tanggal 26 Januari 1989 ini PT. GARUDA INDONESIA genap berusia 40 tahun. Empat puluh tahun adalah kurun waktu yang sangat penting bagi PT. GARUDA INDONESIA sebagai suatu perusahaan khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya.
Sebagai perusahaan penerbangan pembawa bendera nasional, Garuda Indonesia mempunyai jati diri yang khas. Walaupun Garuda Indonesia menjalankan kegiatan yang sama dengan perusahaan penerbangan lainnya, akan tetapi kedudukan, peran, tanggungjawab serta missi yang dibawa Garuda Indonesia sama sekali berbeda.
Dalam kurun waktu 40 tahun ini, berbagai tantangan dan kemajuan telah dijalani Garuda Indonesia.
Pada periode saat ini, dengan titik tolak pengembangan kemampuan, kualitas serta motivasi sumber daya manusia untuk memperkukuh moral serta budaya profesionalisme untuk menghasilkan pelayanan yang berkualitas, PT. GARUDA INDONESIA sedang berupaya menjadi perusahaan penerbangan yang dibanggakan sebagai pembawa bendera nasional serta disegani di dunia penerbangan internasional.
GARUDA INDONESIA adalah milik dan kebanggaan bangsa Indonesia. Dan kami sedang berupaya keras.
M. SOEPARNODirektur Utama
Garuda Indonesia
Pas pada HUT-nya yang ke-40, Januari ini, Garuda Indonesia berhasil mencetak untung yang mencengangkan: Rp 127 milyar. Tapi Garuda, yang bermodal dasar sebuah pesawat Dakota sumbangan rakyat Aceh, memang memiliki sejarah untung pada masa perintisannya. Lantas apa kiat yang diterapkan direksi baru pimpinan M. Soeparno hingga mampu meraih untung seratusan milyar itu?
Garuda menggebrak, dan menghasilkan terobosan. Bayangkan, cuma satu tahun sesudah direksi baru melakukan pembenahan, Garuda menyodok untung Rp 127 milyar pada tahun yang baru berlalu. Jumlah ini berarti 424 kali lipat dari hasil yang diraih pada 1987, yang hanya Rp 299 juta. Sungguh suatu perolehan yang tak tertandingkan dengan pendapatan tahun-tahun sebelumnya, yang merugi terus.
Pujian pemerintah, lewat mulut Menteri Perhubungan, telah diterima lebih awal. "Saya bangga, Garuda Indonesia (kini) sangat sehat," ujar Menhub saat menutup Biannual Meeting PT Garuda Indonesia di Jakarta, 12 November tahun silam. Pujian yang justru membuat Garuda merunduk, ibarat padi yang sarat isi.
Pembenahan -- seiring kebijaksanaan umum pemerintah untuk menangkal resesi dan surutnya perolehan dari minyak bumi -- sesungguhnya telah digebrak Garuda sejak 1984, berupa strukturisasi perusahaan. Awal 1988, ditingkatkan dengan penajaman biaya, lewat cost control dan pricing policy suatu disiplin dalam pengeluaran dan penyesuaian harga. Berikutnya, September 1988 perusahaan penerbangan milik negara (BUMN) itu memberlakukan Total Quality Control (TQC), lalu berupaya menurunkan tingkat keterlambatan rata-rata.
Namun direksi baru juga pandai mengambil keputusan yang langsung menyangkut hajat hidup para karyawan. Pada 6 April 1988, persis tiga bulan setelah dilantik, Direktur Utama PT Garuda Indonesia meneken suatu surat keputusan mengenai eselonisasi jabatan struktural yang dihubungkan dengan golongan/tunjangan jabatan. "Setelah 40 tahun BUMN ini berjalan, sekaranglah kita (baru) berhasil membuatnya," ujar M. Soeparnosang dirut.
Itulah beberapa kebijaksanaan yang terbukti telah turut memacu motivasi dan rasa memiliki, loyalitas dan kreativitas. Dan, pada akhirnya, produktivitas! Lalu, bagaimana perusahaan tidak bisa untung?
Menyimak sepak-terjangnya selama 40 tahun -- Jaarig-nya yang ke-40 jatuh pada 26 Januari ini -- Garuda memulai sejarahnya dengan baik sekali, ditinjau dari segi kejuangan dan komersial. Dan dengan partisipasi orang-orang yang akrab dengan perjuangan dan kewiraswastaan, Aceh.
Sejarah Garuda memang dimulai dengan "tantangan" Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, kepada rakyat Aceh. Berada di Kutaraja (kini: Banda Aceh) pada 16 Juni 1948, Bung Karno dalam kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat di Aceh Hotel menyerahkan sekuah miniatur pesawat Dakota -- yang ingin dibeli tapi pemerintah RI yang masih muda itu tidak punya uang. Dengan caranya sendiri, BK dengan cepat berhasil membakar semangat perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh. Dan hanya dalam dua hari saja Panitia Dana Dakota, yang diketuai T. Djuned Jusuf dan Said Mochammad Alhabsji, telah berhasil mengumpulkan 130.000 dolar Malaya.
Uang serta 20 kg emas itulah yang dibawa rombongan Djuned Jusuf ke Singapura pada 1 Agustus 1948. Di sana sudah menunggu Opsir Wiweko Supono dari AURI, yang ditugaskan pemerintah melakukan pembelian pesawat Dakota dimaksud. Tiga bulan kemudian, pesawat tersebut dibawa ke Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, yang dijadikan pangkalan induk. Nama yang dipilihkan untuk pesawat itu adalah RI-001 "Seulawah" -- berasal dari nama sebuah gunung di Aceh, yang berarti "Gunung Mas" -- sebagai tanda terima kasih kepada masyarakat penyumbangnya, Aceh.
Di antara tugas-tugas pertama Seulawah adalah menerbangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan KSAL Laksamana Laut Soebijakto ke Sumatera, serta pemotretan Gunung Merapi di Yogyakarta. Lalu, karena sudah mencapai 50 jam terbang, tiba waktunya RI 001 harus menjalani pemeriksaan dan perawatan (overhaul). Tempat yang dipilih adalah Calcutta, India, negeri yang bersahabat dan memihak perjuangan Indonesia.
Berangkat dari Kutaraja pada 7 Desember 1948, tadinya waktu seminggu untuk overhaul di Calcutta dianggap memadai. Namun Agresi Belanda II terhadap RI telah membuat hubungannya terputus dengan pangkalan induk. Co-pilot Seulawah, Opsir Udara III Sutarjo Sigit, langsung menghubungi Opsir Udara II Wiweko Supono, yang sedang di New Delhi sebagai Utusan KSAU Komodor Udara S. Suryadharma. Kedua perwira AURI itu lalu sepakat "mengkomersilkan" Seulawah, yang hasilnya dapat dipakai membiayai perjuangan.
Rencana tersebut dikemukakan kepada Kepala Perwakilan RI di Birma, Marjunani. Dari Marjunani diketahui bahwa pemerintah Birma memang sedang memerlukan angkutan udara dalam rangka menumpas pemberontakan suku Karen di pedalaman, yang hubungan daratnya rusak berat. Maka pada 26 Januari 1949 pesawat Seulawah terbang ke Rangoon, ibu kota Birma, untuk memulai tugasnya sebagai armada pertama penerbangan sipil RI. Kita ketahui, tanggal tersebut kemudian dianggap sebagai hari lahir Garuda Indonesia.
"Indonesian Airways" adalah nama yang dipilih untuk perusahaan penerbangan Indonesia tersebut. Pada waktu itu sesungguhnya sudah ada beberapa perusahaan penerbangan Birma dan asing di sana (Union of Burma Airways, dan Philippina Airways), namun tak satupun berani melakukan penerbangan militer. Resikonya memang terlalu besar -- hal yang justru menguntungkan Indonesian Airways.
Dalam menggantikan tugas AU Birma yang belum memiliki skuadron angkut sendiri, para awak Seulawah acap menghadapi serangan yang nyaris fatal dari pasukan pemberontak. Sebelas lubang peluru sempat menyerempet membekasi tubuh pesawat. Sambil melayani penerbangan sipil -- tidak cuma mengangkut orang, juga mobil jip, sayur, bahkan ternak -- tugas militer tetap diteruskan.
Secara komersial, bisnis Indonesian Airways di Birma cukup menguntungkan. Keuntungan itulah yang antaranya dipakai membiayai Perwakilan RI di Birma, India, dan Pakistan; serta mengongkosi 20 kadet penerbang dan dua perwira AURI yang belajar di luar negeri. Selain menyewa sebuah pesawat Dakota (RI-007), hasil komersialisasi Seulawah membuahkan sebuah pesawat Dakota lain. Dakota belian itu diberi nomor registrasi RI-009.
Indonesian Airways -- yang dengan Seulawah berhasil dua kali menembus blokade musuh dalam Agresi Belanda II dan mengangkut senjata ke Aceh harus meninggalkan Birma. Padahal, karena policy pemasarannya yang luwes, perusahaan makin dikenal dan menjanjikan keuntungan yang kian meningkat. Persetujuan KMB, 27 Desember 1949, yang melahirkan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia --termasuk penyerahan berbagai pangkalan udara yang dikuasai AU Belanda -- adalah penyebabnya. Kembali ke tanah air, para anggota AURI bekas awak Indonesian Airways dialihtugaskan pada Dinas Militer Angkatan Udara (DAUM). Termasuk Wiweko Supono, yang belakangan menjadi direktur utama Garuda Indonesian Airways.
Untuk sukses Indonesian Airways itu, rakyat dan pemerintah Birma jelas sangat berjasa. Maka sebagai tanda terima kasih rakyat Indonesia, Dakota RI-007 dihadiahkan kepada pemerintah Birma.
Perjanjian KMB juga membuahkan kesepakatan di bidang penerbangan sipil, yang bertemu dengan keinginan pemerintah Indonesia untuk memisahkan penerbangan komersial dari non-komersial. Maka terbentuklah NV Garuda Indonesian Airways, 31 Maret 1950, merupakan patungan pemerintah Indonesia (50%) dan perusahaan penerbangan Belanda KLM (50%). Tapi kerjasama ini sangat merugikan Indonesia: unsur…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…