Menggali Dana Nganggur Dari Bawah..
Edisi: 07/19 / Tanggal : 1989-04-15 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :
Pakto ternyata merangsang duniaperbankan. Mereka bersaing seru menjaring nasabah, sampai ada yang salah kaprah ("perang bunga"). Ada yang berkutatdi kawasan padat pedagang kelontong, tak kurang yang turun ke kampung untuk membongkar dana nganggur dari bawah kasur. Mereka kini rajin berpromosi, hingga industri periklanan ketiban rezeki.
Perbankan kita sudah berusia 165 tahun. Tapi Pandangan orang awam terhadap bank masih seperti di "zaman gubernemen": angker. Bangunannya yang biasanya besar-jangkung dan kukuh terkesan angkuh. Minimal dingin. Dikawal ketat siang-malam oleh polsus yang selalu bermata curiga, "gudang uang" itu senantiasa membuat rakyat biasa berusaha menjauhinya. Daripada disangka mau merampok?
Penampilan para ambtenar bank sendiri seperti ingin mengambil jarak. Minimal berkemeja lengan panjang dan berdasi, mereka datang ke kantor dengan rasa penting diri -- dan tegur sapa dan air muka pun diusahakan agar terkesan resmi. Melihat yang acap keluar-masuk ke sana pun biasanya terdiri dari kaum yang berbusana lengkap berikut tas dalam jinjingan, si awam pun cenderung menyangka mereka "terlarang" datang ke sana. Maka kalau mereka memiliki uang berlebih, orang-orang sederhana itu memilih menyimpannya di bawah tilam. Bunga yang dijanjikan bank tak cukup berperan untuk mengikis kebiasaan turun-temurun itu.
Sikap ini tampaknya warisan sejarah. Lembaga bank memang warisan kolonial. Karena itu, kalau nenek moyang kita menjauhi bank bukan saja karena bunga uang dianggap riba, tetapi juga sebagai bagian dari sikap antipenjajahan. Tentu, sudah saatnya sekarang mengubah sikap -- kendati bagi kalangan awam, terutama di pedalaman, tak cukup mudah. Pengubahan sikap pertama-tama harus dimulai di lingkungan perbankan sendiri.
Bank pertama di negeri kita didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1824 dengan nama Nederlandche Handels Maatchappij (NMH), dengan pemerintah Belanda sebagai salah satu pemegang saham utama. Pendiriannya dimaksudkan untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang, kendati telah menguasai Indonesia hampir selama dua abad (1602-1799), jatuh bangkrut.
Bank kedua adalah pewaris Bank Indonesia kini, De Javasche Bank, yang didirikan pada 1827. Bank ketiga, sebuah bank swasta, didirikan 33 tahun setelah pendirian "Factorij" -- sebutan yang lebih populer untuk NHM -- adalah NV Escompto Bank. Bank ini kini dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN). Kemudian berdiri National Handels Bank sebagai bank dagang ketiga yang beroperasi di Indonesia. Koperasi simpan-pinjam yang didirikan di kalangan petani pada 1895 di Purwokerto digabungkan oleh pemerintah Belanda dengan nama Algemene Volks Credit Bank (AVB) pada 39 tahun kemudian (1934). Sebelum penutupan abad ke-19, pemerintah Belanda membuka sebuah bank tabungan, -- bekerja sama dengan jawatan pos, Post Spaarbank, 1898, diikuti oleh pendirian rumah gadai negara pada 1901.
Menurut Pusat Data Business Indonesia (PDBI), bahkan pada awal abad ke-10 dan sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat sejumlah bank asing yang beroperasi di Jakarta dan Surabaya. The Hongkong & Shanghai Bank, The Chartered Bank, Bank of China, (OCBC) dari Singapura, Great Eastem Banking Corp., dan Bank of Taiwan, lalu dua bank Jepang, Mitsui dan Yokohama Specie Bank.
Di antara beberapa bank swasta lokal termasuk NV Banksverening Oei Tiong Ham, yang dimiliki cukong terkenal dari Semarang, Oei Tior Ham. Lainnya didirikan oleh pengusaha dan politisi ternama, misalnya Bank Nasional Indonesia di Surabaya, 1928, yang dikelola oleh Dr. Sutomo, Drs. Samsi dan Ir. Anwari. Serta Bank Abuan Saudagar di Bukittinggi (1932), dan Bank Bumi di Jakarta. Tidak satu pun dari bank-bank swasta sebelum perang ini mampu bertahan hingga masa kemerdekaan.
Namun, belakangan kita menemukan lima bank swasta yang berdiri sebelum 17 Agustus 1945. Mereka berhasil mempertahankan keberadaannya kendati dengan pemiliknya yang baru. Yaitu Bank Tabungan Himpunan Saudara 1906 di Bandung, PT Bank Kesawan di Medan (pelanjut NV Handels Mij Chung Hwa Shangyeh), PT Bank Jakarta yang meneruskan NV Bank Batavia (diambilalih Probosutedjo pada 1973). Lalu Bank Nasional di Bukittinggi, yang berdiri pada 1934 sebagai bank tabungan. Yang kelima adalah pelanjut bank tabungan Belanda, yang memakai singkatan yang sama, NISP, tapi kini dipanjangkan dengan Nilai Inti Sari Pinjaman.
Dalam masa perang kemerdekaan 1945-1949, kita menyaksikan lahirnya bank milik negara yang pertama, Bank Negara Indonesia (BNI), 5 Juli 1946. Sektor swasta membuka Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) setahun lebih awal, 5 Oktober 1945, di Medan. Bank terkemuka lainnya, Bank Perniagaan Indonesia (BPI) lahir pada tahun 1948.
Setelah Konperensi Meja Bundar, pemerintah tetap mentolerir kehadiran bank-bank asing di Indonesia walaupun dengan pembatasan tertentu, tapi segera terseret konflik yang timbul akibat tantangan yang kian meningkat terhadap dominasi ekonomi Belanda di negeri ini. Pemerintah mula-mula mengkonsolidasikan sebuah biro untuk pendanaan jangka panjang ke dalam sebuah bank milik negara yang diberi nama Bank Industri Indonesia (BIN). BIN ditugaskan untuk menunjang pengembangan beberapa pabrik milik negara.
Kemudian pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank pada 1953 dengan membeli saham-sahamnya 120% di atas harga nominal dalam mata uang Belanda. Sementara itu, di bawah perjanjian KMB, Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI, yang merupakan kelanjutan dari AVB) dialihkan secara damai menjadi lembaga keuangan milik pemerintah Indonesia. Pada paruh pertama 1950-an, kita dapat mengatakan bahwa pemerintah RI telah memiliki tiga bank ditambah bank sentral, sementara Belanda tetap mempertahankan pengaruh utamanya melalui tiga bank besar. NHM, NHB, dan Escompto. Maka persaingan tak terelakkan.
Persaingan berhenti dengan seketika saat pemerintah di bawah tekanan berat kampanye pembebasan Irian Barat terpaksa mengambilalih tiga bank besar tersebut. Praktis berlangsug pada tahun-tahun panas pemberontakan PRRI/Permesta (1957-1958), pemerintah mendirikan tiga bentuk badan hukum baru sebagai pelanjut tiga bank milik Belanda itu. NHM dialihkan menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim), NHM menjadi Bank Bumi Daya (BBD), dan Escompto menjadi Bank Dagang Negara (BDN). Dalam masa Orde Lama, semua bank itu disatukan ke dalam Bank Negara Indonesia, kecuali BDN karena dirutnya juga menjadi Menteri waktu itu. Sedang BIN mendapat nama baru, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Sementara itu, dalam sektor swasta pemerintah mengeluarkan izin bank baru yang mencerminkan situasi dan kondisi struktur kekuasaan. Tercatat sebuah Kabinet PNI pernah memberikan izin forex pertama kepada bank milik PNI yang merupakan bank pertama yang lahir setelah perang kemerdekaan (1952), yakni Bank Umum Nasional (BUN). Izin sejenis kedua diberikan kepada BDNI, 1 Desember 1955. Yang ketiga diterima oleh Bank Persatuan Dagang Indonesia (kini Bank Bali), 1 Juni 1956.
Dalam 15 tahun liberalisme dan etatisme, izin-izin bank dikeluarkan di bawah pengaruh politik yang berat. Namun dari catatan yang ada dapat dilihat bahwa hanya 24 bank yang didirikan antara 1951 dan 1960 yang mampu bertahan hingga kini. Dari dekade 1961 1971, 29 bank berhasil mempertahankan kehadirannya. Tahun 1971 dipakai sebagai patok-duga karena itulah tahun ketika tiga bank swasta bergabung ke dalam Pan Indonesian Bank (Panin Bank) pada 17 Agustus 1971. Izin bank sebelum pemerintah menutup pintu bagi pendirian bank-bank baru diberikan kepada Bank Dagang Bali, 24 Agustus 1970. Perhitungan terakhir sebelum Deregulasi 27 Oktober (Pakto), jumlah keseluruhan bank swasta nasional tercatat 66 buah, termasuk dua bank tabungan.
Ketika sejarah Indonesia bergerak menuju etatisme, sebagian besar bank asing yang beroperasi di Jakarta sejak zaman kolonial, mengakhiri kegiatannya dengan sukarela. Bank of Ghina menutup kantornya yang berdekatan dengan gedung tua Balai Kota kendati pemerintah Indonesia waktu itu menjalin hubungan politik yang baik dengan RRC. Chartered bank dinasiolisasikan dan bergabung dengan Bank Bumi Daya.
Kemudian datang Orde Banu. Setelah G30S/PKI, 1965, pemerintah menerapkan politik pintu terbuka bagi modal asing, termasuk bank asing. Dalam masa tiga tahun sejak dibukanya kegiatan perbankan bagi bank asing, empat bank Amerika, serta dua…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…