DARI MATA TURUN KE GEMBLAK

Edisi: 32/17 / Tanggal : 1987-10-10 / Halaman : 30 / Rubrik : PRK / Penulis :


INI bukan acara khitanan. Seorang remaja laki-laki sekitar 12 tahun, bersarung kain batik, tangan kirinya berarloji, sandalnya bertutup -- bukan sandal jepit murahan. Ia bergigi emas. Wajahnya bersih, jalan dan suaranya agak keperempuan-perempuanan. Di saku bajunya selalu ada rokok. Kadang-kadang ia berkaca mata hitam pula. Satu atau beberapa lelaki kekar berotot mengawalnya.

Itulah pemandangan yang hanya bisa dilihat di Ponorogo, Jawa Timur. Anak laki-laki itulah gemblak -- istilah yang tak ada kaitannya dengan khitanan, meski ada hubungannya dengan seksualitas. Adapun para pengawal, itulah warok.

Kehadiran gemblak dan warok bermula pada pantangan: jangan menyentuh wanita, bila kamu ingin sakti. Maka, untuk meneduhkan gairah berahinya selagi memantapkan ilmu, warok Ponorogo mengangkat pacar remaja laki-laki. Dari situ muncullah tradisi gemblakan, atau homoseksualitas jauh sebelum orang Amerika terteror AIDS, sebelum Paus Yohanes Paulus II mengecam kaum homo.

Boleh jadi di Ponorogolah, gemblakan atau homoseksulitas bukan saja tidak dikutuk, tapi malah jadi simbol status. Hubungan seks sejenis ini menyatu dengan tradisi warok dan reog. Warok adalah jagoan, sejenis kepala gang yang punya wilayah tertentu di sebuah kota. Dulu, biasanya warok jadi pemimpin grup reog. Makin banyak gemblakan seorang warok, makin ia bergengsi dan ditakuti.

Cerita-cerita seperti itu setengah dipercaya, setengah disangsikan. Adalah dr. Ismed Yusuf dari Universitas Diponegoro, Semarang, yang lewat sebuah penelitian mengungkapkan ihwal sebenarnya. Tradisi yang dulu berjalan terang-terangan ini kini memang masih hidup, meski tersembunyi, dan sudah berkurang jumlah pelakunya, tutur Ismed. Bila Ismed, 38 tahun, baru menyampaikan hasil penelitian lima tahun lalu ini di simposium tentang hubungan seks, di Undip, dua pekan lalu, tak lain "karena saya tidak berani buru-buru mempublikasikannya. "

Berkat seorang mahasiswanya, dokter ahli psikiatri anak itu bisa menembus sumber-sumber yang biasanya tertutup. Di Desa Bancar, 17 km tenggara Ponorogo, ia menemukan dua kelompok gemblakan yang masih aktif. Itu sebabnya penelitian dilakukan di sini.

Lima puluh responden dipilih secara acak. Antara lain 15 laki-laki yang aktif dalam perkumpulan, 5 gemblak, 2 bekas gemblak, 5 ibu rumah tangga, 3 tokoh masyarakat, dan seorang guru SD Inpres. Selama enam hari dengan modal Rp 500.000,00 bapak tiga anak ini memperoleh masukan tentang norma-norma sosial yang mendukung homoseksualitas hidup damai di Ponorogo.

Warok dan gemblak bukan hanya dihormati, kata Ismed yang sudah haji itu. Tapi secara tak langsung tradisi ini punya arti sosial,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

B
Bila si Ucok Pemalu
1994-03-12

Dasar perangai anak memang muncul sejak dari sananya. penelitian terakhir mengundang para ahli percaya bahwa…

M
Meraba Pemicu Bunuh Diri
1994-04-30

Selain jepang, ternyata amerika serikat punya rekor khas dalam tragedi bunuh diri. di samping kelainan…

M
Mati Enak di Rumah Musik
1994-03-19

Ecstacy adalah gelombang psychedelique kedua setelah lsd. di inggris banyak remaja mati setelah menelannya. di…