Primadona Non-migas
Edisi: 37/16 / Tanggal : 1986-11-08 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :
REKAN-rekan bisnisnya sering menyebut Bob Hasan -- pisahkan dulu dari kegiatan olah raganya -- sebagai B-83, sebuah pesawat pembom yang belum pernah dibikin dan secara imajiner dianggap lebih ampuh dari pesawat pembom seri B manapun.
Mengapa B-83? Sebagai Ketua Umum Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), Bob Hasan memang pantas mendapat julukan itu. Ia selalu siap menjatuhkan bomnya pada setiap kendala yang menghambat pertumbuhan industri kayu lapis Indonesia. Ia bersikap tegas terhadap pengusaha asing yang mau coba-coba mempermainkan Indonesia dalam pasaran kayu lapis dunia. Terhadap anggota Apkindo yang tidak taat kepada aturan permainan, Bob Hasan pun tak segan untuk segera menjatuhkan sangsi.
Dengan kiat seperti itu, tak perlu diherani bila Apkindo secara blizkrieg telah berhasil mengangkat harkat industri kayu lapis Indonesia. Dari tiga pabrik kayu lapis di Indonesia pada 1970-an, bilangannya kini telah tumbuh menjadi 102. Bila tiada aral melintang, tahun 1986 ini akan diakhiri dengan rekor baru Apkindo: menghasilkan devisa sebesar US$ 1,1 milyar -- kontribusi terbesar yang diberikan oleh sub-sektor nonmigas. (Target ekspor nonmigas Indonesia secara keseluruhan adalah US$ 6 milyar setahun).
Pamor Indonesia melejit ke papan atas dalam pemasaran kayu lapis dunia. Kini 70% pasar dunia kayu lapis -- tanpa memperhitungkan produksi domestik untuk kebutuhan dalam negeri masing-masing negara -- dikuasai oleh Indonesia.
Sebelum Perang Dunia II, di Sumatra telah berdiri dua pabrik kayu lapis. Lalu, pada sekitar 1950-an berdiri sebuah pabrik lagi di Pulau Jawa. Lalu, sudah. Industri kayu lapis berhenti tumbuh ketika Indonesia baru mencapai tahap anak bawang. Indonesia pada masa itu memang belum lagi memanfaatkan sumber daya alamnya yang melimpah, kecuali beberapa jenis komoditi yang diekspor secara tradisional. Minyak bumi belum menjadi mata dagangan penghasil dana pembangunan. Hutan -- emas hijau -- masih merupakan perawan sunti yang belum tersentuh. Apalagi karena pada masa itu yang dimaksud dengan kayu oleh sebagian besar masyarakat kita adalah kayu jati, maka hanya hutan jati sajalah yang hidup dan diusahakan secara agak tertib. Hutan -- yang menyimpan begitu banyak produk dan hasil sampingan -- masih merupakan alas greng yang gung liwang-liwung.
Padahal masyarakat modern pada awal 1950-an itu sudah membutuhkan kayu lapis. Amerika Serikat dan Canada pada periode itu sudah memproduksi kayu lapis sekitar 1 juta meter kubik per tahun. Jepang yang baru saja kalah perang langsung tanggap terhadap kebutuhan yang bertumbuh di Amerika itu. Pada awal 1950-an Jepang sudah berhasil memasukkan kayu lapis ke pasar Amerika, terutama karena kayu lapis produksi Jepang itu memang berbeda jenis dan mutunya. Amerika Serikat dan Canada menghasilkan softwood plywood karena bahan bakunya memang dibuat dari kayu jenis lunak, seperti pinus dan pepohonan berdaun janlm lainnya. Sedangkan Jepang mendatangkan jenis hardwood plywood yang tentu saja mempunyai pasar tersendiri. Negara Asia Tenggara yang pada saat itu telah ikut dalam percaturan kayu lapis dunia hanyalah Filipina.
Jejak Jepang kemudian diikuti oleh Korea selatan, Taiwan dan Malaysia yang mulai terjun ke pasar dunia sejak 1955. Produksi Amerika Serikat sendiri saat itu sudah bertumbuh 50% di atas keadaan lima tahun sebelumnya. Toh, pasar masih mampu menyerap lebih banyak lagi. Produksi Jepang yang sudah berganda lima kali lipat pun dengan mudahnya ditelan pasar. Cukup mengherankan, Jepang yang tak mempunyai cukup hutan untuk mendukung industri kayu lapisnya ternyata mampu menumbuhkan industri di bidang ini menjadi 50 kali lipat dalam 20 tahun pertama. Negara-negara Asia lainnya yang memiliki hutan banyak menjadi pemasok bahan baku berupa kayu gelondongan. Semua nilai tambah dari industri yang menguntungkan ini dinikmati sepenuhnya oleh Jepang, Korea dan Taiwan.
Indonesia yang di kala itu belum memasuki tahap industri memang sudah cukup puas dengan mengekspor sumber daya alamnya secara mentah. Sejak 1960-an Indonesia baru mulai ikut mengekspor kayu gelondong. Kemampuan industri untuk mengolahnya menjadi produk jadi atau setengah jadi belum lagi ditumbuhkan. Keadaan ini memang kemudian terasa sangat menugikan bangsa kita.
"Kita masih terbuai saja oleh para pembeli kayu gelondong," kata Bob menggambarkan keadaan itu. Bila ekonomi mereka sedang baik, semuanya pun berjalan sesuai dengan kesepakatan. Tetapi, bila ekonomi mereka…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…