TAHUN DIALOG, MUDAH-MUDAHAN

Edisi: 44/12 / Tanggal : 1983-01-01 / Halaman : 51 / Rubrik : KIB / Penulis :

SELAMAT tinggal tahun 1982, "Tahun Galunggung". Bencana alam bukan sesuatu yang asing dalam alam kita. Tapi rekor Galunggung untuk selama berbulan-bulan terus mengisi halaman surat kabar, cukup menyita ruang ingatan kita. Sejak mengamuk pertama kalinya April lalu, Galunggung telah meletus lebih dari 300 kali. Lalu lintas di kepundannya meningkat hebat: diperkirakan lebih dari 60 juta ton debu, pasir dan batu muntah keluar. Sebaliknya, masuk ke dalam sapi, domba, keris dan bercangkir-cangkir kopi dari mereka yang karena ketakutan dan takhyul, mempersembahkan korban untuk menghentikan kemurkaan sang gunung.

Tapi bukan cuma debu Galunggung saja yang menggelapkan udara Indonesia pada 1982. Pengaruh resesi ekonomi dunia makin terasa keras menghantam. Kenaikan harga BBM sewaktu 1982 baru berusia beberapa hari, sebenarnya telah mengisyaratkan, bahwa kita akan menghadapi masa-masa yang sulit. Artinya, berakhirlah masa enak dengan rezeki minyak. Dan kesadaran timbul: fondasi dasar pembangunan kita yang terlalu bertumpu pada uang minyak memang kurang sehat.

Maka berbagai langkah dilakukan. Sistem imbal-beli diberlakukan. Ekspor komoditi nonminyak digalakkan. Subsidi pupuk dan pangan dikurangi. Penerimaan dari sektor pajak dipacu. Pungli di bidang angkutan, yang diduga membuat harga barang naik, digenjot.

Toh gambaran cerah belum menyingsing. Tak heran bila oleh Presiden Soeharto kita diminta "rela memberi iuran beban pembangunan".

Di tengah kelesuan ekonomi itu kita toh harus gembira. Pemilu yang lima tahun sekali diadakan telah terlaksana Mei 1982. Golkar, kali ini dengan dukungan utama Korpri, mengukuhkan kehadirannya sebagai organisasi sospol terbesar. Namun terjadinya Peristiwa Lapangan Banteng serta berbagai ekses lain…

Keywords: -

---

Foto Terkait