MELIHAT AFFANDI KEMBALI

Edisi: 28/04 / Tanggal : 1974-09-14 / Halaman : 46 / Rubrik : LAPUT / Penulis :


KEPADA PELUKIS AFFANDI

; Kalau, 'ku habis-habis kata, tidak lagi berani memasuki rumah
sendiri, terdiri di ambang penuh kupak,

; adalah karena kesementaraan segala yang mencap tiap benda, lagi
pula terasa mata'kan datang merusak.

; Dan tangan 'kan kaku, menulis berhenti kecemasan derita,
kecemasan mimpi, berilah aku tempat di menara tinggi, di mana
kau sendiri meninggi

; atas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan
cipta kau memaling dan memuja dan gelap-tertutup jadi terbuka

; -- Chairil Anwar

; ***

; SAYA tidak tahu apa maksud sajak yang ditujukan kepada saya
itu", komentar Affandi. Di ruang sidang Dewan Kesenian Jakarta,
sehari sebelum pelukis ini berangkat ke Singapura untuk menerima
gelar Doktor Kehormatan, ia mengutarakan bahwa Chairil mungkin
tertarik kepadanya dan ingin seperti dia. "Tetapi berkali-kali
saya membacanya lagi, toh saya tetap tidak mengerti", katanya.
Senyum lugu. Wajahnya tenang, sehat dan tampaknya masih tetap
terbuka. Ia terus bekerja walaupun usianya mencapai 64 tahun
(keadaan yang tidak luar biasa kalau diingat Picasso almarhum
pada usianya yang ke 90 masih belum menjadi besi tua).

; Biarlah kakek yang lahir di Cirebun ini tidak mengerti
sajak-sajak, atau barangkali menyembunyikan kearifannya -- kalau
memang kodratnya bukan untuk membuka mulut, tetapi bekerja.
Lihatlah tanda tangannya yang kadang kala diganti dengan gambar
sepasang tangan, sepasang kaki dan matahari. Matahari baginya
simbul hidup; tak ada matahari tak ada hidup. Dan mengapa ia
memilih tangan, bukannya otak? Bekas guru ini menjawab dengan
baiknya: "Sebab saya merasa tidak pandai seperti Einstein.
Tangan simbul kekuatan saya untuk bekerja. Yang saya tahu
kekuatan diri saya adalah tangan dan perasaan, bukan otak".
Lantas di depan sejumlah anak sekolah yang sedang menyaksikan
pamerannya di TIM, Affandi separuh mendorong mengatakan: "Yang
perlu itu bekerja, jangan mengharap semuanya bagus. Kalau saya
melukis, ya melukis. Yang penting banyak bekerja".

; Macet Atau Bertahan?

; Tidak semua orang setuju dengan cita rasa Affandi. Tetapi
anak-anak sekolah negeri ini, kalau hendak mencari bandingan
yang tinggi dalam bidang senilukis, pastilah mereka menunjuk
cakar ayam Affandi yang langsung diplotot dari tube itu.
Kalangan seniman lukis sendiri menunjukkan penghargaan yang
lumayan simpang siurnya. Mereka cenderung menempatkan bekas AMS
ini, yang kemudian untuk beberapa lama pernah jadi tukang cat di
bioskop --sesudah meninggalkan pekerjaannya sebagai guru --
dalam kedudukan seorang pelukis yang sejati. Seluruh hidupnya
diabaikannya untuk seni lukis -- dari mana ia kemudian
mendapatkan satu-satunya sumber penghidupan, ke arah mana ia
menyerahkan diri tanpa banyak mempedulikan komentar baik yang
sifatnya mengobarkan semangat atau yang bernada menyerang dan
mengecilkan artinya. Pelukis Rusli, salah satu dari 60 anggauta
SIM (Seniman Indonesia Muda) senior, tak ragu-ragu memberi cap
Affandi sebagai pelukis top --satu di antara dua atau tiga orang
pelukis top Indonesia. "Dia bukan sekedar pelukis lagi, tapi
benar-benar seniman", ujarnya. Sementara seorang W.S. Rendra
yang oleh Rusli sendiri pernah ditonjolkannya sebagai calon
kritikus senilukis yang baik (kalau saja tokoh teater dan
penyair ini mau) memberi komentar: "Affan- di bagi saya sudah
mati. Ia cuma mengandalkan bakat alam yang dimilikinya, ia telah
terjebak pada kerja rutin. Pribadinya, totalitas, pribadinya
telah pecah".

; Bagi orang awam, memang agak membingungkan bagaimana sebenarnya
posisi pelukis yang pernah mendapat Anugerah Seni Pemerintah RI
pada 1969 ini. Namanya sudah terlanjur besar dan populer. Abas
Alibasyah, pelukis yang juga' Sekretaris Dirjen Kebudayaan P dan
K menamakannya sebagai tokoh pelopor dalam sejarah senilukis
lndonesia. Karena pada masa penguasaan teknik realisme masih
menjadi masaalah, Affandi ternyata mempunyai keunggulan
dibanding rekan-rekan sezaman. Sedang pada saat kebebasan sedang
tumbuh, pelukis yang doyan makan nasi meski pun sedang berada di
luar negeri ini ternyata juga menunjukkan keunggulan melukis
ekspresionistis. Semua ini jelas tergambar pada pameran
tunggalnya di TIM awal Agustus yang lalu. Di sana ia memamerkan
isi museumnya yang ia kerjakan sejak 1936 sampai 1974. Tak salah
komentar Sudarso, sang pelukis naturalis waktu mengatakan bahwa
anggota Akademi Jakarta itu pelukis ekspresionis yang telah
melewati naturalisme yang sempurna. Lukisan Potret Diri (1940)
dan Ibu Menjahit (1938) merupakan sebagian bukti untuk ini.
Demikianlah putera nomor empat mantri ukur Kusuma dan isterinya
Radjem itu, dikukuhkan pula dengan hadiah Doktor HC -- Doctor of
Letters -- 4 Agustus yang lalu, dalam sebuah upacara di National
Theater, Bukit Timah Road, Universitas Singapura, dengan alasan:
"Karena jasa-jasanya bagi perkembangan serta apresiasi seni di
Indonesia dan wilayah sekitarnya". Untuk pemberian gelar itu
Prof.Dr. Syed Naguib Al-Attas dari Universitas tersebut telah
lebih dahulu bertemu dengan pelukis itu. Ketua Akademi Jakarta,
Prof. Takdir Alisyahbana SH, yang menyambut pameran tunggal di
TIM dalam pada itu menobatkan Affandi sebagai pelukis dunia
modern abad XX sepenuh-penuhnya. "Affandi telah keluar dari
suasana Indonesia yang terbatas dan telah menjadi salah seorang
seniman dunia", katanya.

; Masih Tipis

; Tetapi semua pujian tersebut tak lebih dari kata-kata -- bagi
sebagian besar rakyat yang apresiasi senilukisnya kabarnya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

W
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08

Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…

Y
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29

Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…

B
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29

Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…