Sang Komandan, Hemingway, Bung Karno, Dan Lain-lain
Edisi: 28/35 / Tanggal : 2006-09-10 / Halaman : 59 / Rubrik : LAY / Penulis : Suriaji, Yos Rizal , Suditomo, Kurie ,
MEREKA tidak lagi menyembunyikan catatan kesehatan sang pemimpin. Mungkin baru sekarang ini, ketika sang pemimpin menginjak usia 80 tahun, masyarakat Kuba melihat: dia manusia biasa.
Dia, Fidel Castro, kita dengar kabarnya dari hari ke hari. Janggutnya bisa memutih-perak, wajahnya bisa memucat, ususnya bisa kena infeksi, dan kepemimpinannya bisa berakhir. Kepemimpinan yang dibenci, juga sangat dicinta sebagian orang. Castro telanjur menjadi simbol, ikon kaum revolusioner yang melahirkan banyak inspirasi, dan mimpi. Majalah ini tak berbicara tentang itu. Kita mencoba menyodorkan gambaran lain. Persahabatannya dengan penulis Ernest Hemingway, pertemuannya dengan Bung Karno, Gus Dur, dan lain-lain.
âTak ada manusia berdiri sendiri seperti pulau terasing; setiap orang adalah kepingan kecil dari benua, bagian dari bingkai besar. Kalau segenggam tanah larut terbenam ombak laut, Eropa pun begitu, serupa bila sebongkah tanah luruh; sama halnya kalau rumah sahabatmu terbenam, rumahmu juga. Setiap kematian merongrongku, karena aku adalah kemanusiaan; karenanya tak perlu mencari tahu untuk siapa lonceng berbunyi; itu berbunyi untuk kau.â
âPuisi John Donne (1624), penggalan dari episode âMeditation XVIIâ
ANAK juragan tebu dari di wilayah Biran, pantai utara Provinsi Oriente, Kuba, itu menggenggam dua buah buku. Ia hendak memperlihatkannya kepada Mirta Dias Balart, istrinya, yang tengah menginap di sebuah hotel di New York. Mereka, pada Oktober 1948 itu, tengah berbulan madu. Buku pertama adalah Das Kapital karya Karl Marx. Buku kedua novel For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway.
Mirta seketika cemas begitu melihat buku pertama. Bukan apa-apa, Fidel Alejandro Castro Ruz, 22 tahun, suaminya, belum lama pulang dari Republik Dominika, membantu gerakan penggulingan diktator Jenerelisimo Rafael Trujillo. Ia gagal. Dan sekarang, Presiden Federasi Mahasiswa Universitas Havana yang menjadi teman tidurnya itu bersiap melahap Marxisme dari tulisan langsung sang penganjurnya. Sebuah bulan madu yang menyedihkan.
Tapi, tidak. Castro sama sekali belum terpikat oleh Marxisme atau sosialisme seperti yang selalu ia dengungkan dalam pidato-pidatonya yang membakar, seperti ungkapannya sejak tiga tahun setelah Revolusi 1 Januari 1959: âSosialisme atau mati!â Castro saat itu justru mengecam kawan-kawannya yang Marxis dan komunis yang ia sebut âpemalas dan banciâ.
Castro lebih terpesona oleh buku kedua. Ya, For Whom the Bell Tolls adalah sebuah inspirasi bagi…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…