Sebuah Hotel Yang Dilupakan
Edisi: 09/34 / Tanggal : 2005-05-01 / Halaman : 88 / Rubrik : SR / Penulis : Suyono, Seno Joko , ,
RUANGAN-ruangan itu seperti dicampakkan. Dindingnya berjamur. Kaca-kaca kusam. Kusen-kusen berjelaga. Gordennya seperti terpal hitam, tergelantung, robek atau menggeloyor. Lumut tebal menghiasi lantai, dan di sudut-sudut ada genangan air mirip paya-paya menjijikkan.
Lebih dari 20 tahun, orang tak pernah lagi datang ke situ. Semuanya ada empat tingkat. Tiap tingkat terdapat deretan kembar kamar kosong tak berpintu. Lorongnya sunyi. Tiap tingkat terdapat ruang lapang dengan spasial berbeda. Melompong tanpa sisa perabotan, kecuali gundukan rongsokan seng dan ceceran sampah kayu-kayu boyak. Berkas cahaya, yang masuk lewat karawang atau anginan, menimbulkan komposisi gelap-terang yang aneh.
Sendiri siang itu, Tempo membuka pintu yang disegel-digembok besi, lalu melangkah ke atas. Suasana membuat merinding. Dari undakan satu ke undakan lain, rasa waswas muncul, takut pijakan ambrol atau atap jebol. Padahal, 50 tahun lalu, saat berlangsung Konferensi Asia-Afrika, ia adalah hotel mungil tempat menginap lebih dari seratus wartawan dalam dan luar negeri. Di puncak atap bangunan yang terletak di Jalan Asia Afrika (dahulu Jalan Groote Postweg) sekarang masih bisa dibaca nama hotel itu: Swarha.
Hotel Swarha mewakili gaya jengki, tutur Frances Affandi, Direktur Eksekutif Bandung Cultural Heritage, sebuah yayasan yang punya perhatian terhadap bangunan-bangunan tua di Bandung. Setelah kemerdekaan, tahun 1950-an muncul tren bangunan modern, buah rancangan arsitek pribumi yang pernah magang pada para arsitek Belanda. Seiring dengan waktu itu, yang mewabah muda-mudi mengenakan celana semata kaki, syahdan ala Yankeedieja lidah kita menjadi jengkibangunan-bangunan anyar itu pun dinamakan begitu.
Dari depan, kita lihat bentuk Hotel Swarha setengah oval, dengan kaca-kaca besar berbentuk persegi. Pola kaca-kaca itu menurut Frances, terpengaruh gaya A.F. Aalbers, arsitek Belanda yang merenovasi Hotel Savoy Homan. Berdiri dari balik kaca Swarha kita bisa melihat ruas Jalan Asia Afrika. Jam tembok yang ada di bank di depan hotel akan terlihat jelas. Dulu kita akan dapat melihat alun-alun, karena letaknya pas di pojok menghadap alun-alun. Sekarang tidak, karena telah tertutup perluasan Masjid Agung.
Gedung Merdeka, Hotel Preanger, Hotel Savoy Homaan, Gedung Dwi Warnabangunan lama yang digunakan KAA 1955sampai kini masih berfungsi. Bahkan Villa…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Dunia Kanak-Kanak dalam Dua dan Tiga Dimensi
1994-04-16Pameran faizal merupakan salah satu gaya yang kini hidup di dunia seni rupa yogyakarta: dengan…
Yang Melihat dengan Humor
1994-04-16Sudjana kerton, pelukis kita yang merekam kehidupan rakyat kecil dengan gaya yang dekat dengan lukisan…
Perhiasan-Perhiasan Bukan Gengsi
1994-02-05Pameran perhiasan inggris masa kini di galeri institut kesenian jakarta. perhiasan yang mencoba melepaskan diri…