Langka Obat Di Tengah Pandemi

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-04-18 / Halaman : / Rubrik : LAPUT / Penulis :


DI hadapan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada pertengahan Februari lalu, Aditya Wardhana mengemukakan kegusarannya terhadap nasib penyandang human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome atau HIV/AIDS. Direktur Eksekutif Koalisi AIDS Indonesia itu mengatakan terjadi kelangkaan obat antiretroviral (ARV) jenis tenofovir, lamivudine, dan efavirenz di pasaran. “Tanpa obat itu, nyawa orang dengan HIV/AIDS terancam,” katanya menceritakan pertemuan tersebut kepada Tempo pada Jumat, 17 April lalu. Aditya mengaku sudah berkali-kali menghubungi dua pejabat di Kementerian Kesehatan untuk memastikan stok obat ARV bisa segera terpenuhi. Tanpa obat yang harus ditenggak setiap hari itu, virus dalam tubuh akan beranak-pinak dan mengakibatkan pengidap HIV/AIDS rentan terkena penyakit lain. Apalagi saat itu virus corona sudah mulai mewabah ke berbagai penjuru dunia. Ia juga mengeluhkan harga obat ARV di Indonesia yang berada di kisaran Rp 400 ribu. Padahal harga obat itu di pasar internasional hanya sekitar Rp 100 ribu. Menurut Aditya, Moeldoko berjanji menelusuri persoalan tersebut. Dihubungi terpisah, Moeldoko membenarkan dan mengaku masih mendalami masalah itu. Kelangkaan obat ARV di berbagai wilayah, kata Aditya, terjadi sejak awal tahun ini. Ia mencontohkan, satu klinik kesehatan di Bali yang biasanya memiliki 1.200 botol obat ARV per bulan hingga pertengahan April hanya punya stok tak sampai belasan. Aditya mengaku menerima keluhan dari banyak pengidap HIV/AIDS di Bali dan berbagai wilayah lain.


Ery Sulaeman, pengidap HIV/AIDS di Bali, membenarkan kabar tentang kelangkaan obat ARV di Pulau Dewata. Laki-laki 52 tahun itu mengatakan kelangkaan juga terjadi untuk obat bermerek Aluvia dan Truvada. Awal Februari lalu, ia harus beralih ke obat ARV jenis tenofovir dan lamivudine. Obat yang diperolehnya secara gratis itu hampir mendekati kedaluwarsa. Beberapa hari dia meminum obat pengganti itu, pencernaannya bermasalah. “Mau tak mau harus diminum obatnya daripada virus menjadi resistan,” ujar Ery, yang telah 12 tahun mengonsumsi obat ARV. Ketika mendapat obat ARV, Ery memilih membaginya dengan dua teman yang juga mengidap HIV/AIDS. Pada Jumat, 17 April lalu, stok obatnya masih cukup untuk tiga pekan. Penyandang HIV/AIDS di Bandung, Jawa Barat, Iwan Djugo, bahkan kesulitan mendapatkan obat ARV sejak akhir tahun lalu. Paket obat yang biasanya untuk satu bulan hanya diterima Iwan untuk sepuluh hari.


Aditya Wardhana menduga kelangkaan obat antiretroviral disebabkan oleh pembatalan tender obat-obatan di Kementerian Kesehatan. Pada akhir tahun lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengubah cara pengadaan obat-obatan yang dilakukan di lembaganya untuk tahun 2020. “Terjadi keterlambatan pengadaan obat-obatan esensial. ARV termasuk di dalamnya,” ujarnya. Anggota staf khusus Menteri Kesehatan, Alexander Kaliaga Ginting, menyebutkan perubahan sistem pengadaan itu bertujuan agar pengadaan terbuka dan harga serta produk pun bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Alexander, kalaupun ada keterlambatan pengadaan, itu terjadi karena belum terpenuhinya persyaratan secara online sesuai dengan kriteria Lembaga Kebijakan…

Keywords: Kementerian KesehatanObat GenerikDokter TerawanKelangkaan obat
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

W
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08

Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…

Y
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29

Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…

B
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29

Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…