Pulih Lalu Balas Dendam
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-12-04 / Halaman : / Rubrik : LAPUT / Penulis :
JIKA ada perang yang bisa membahagiakan sebagian orang, itu adalah perang dagang. Salah satu yang berbahagia adalah Mohammad Arsjad Rasjid P. Mangkuningrat, Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk sekaligus Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Indika, juga perusahaan batu bara lain, sedang bungah. Perang dagang yang merayap ke Cina dan Australia—sekutu Amerika Serikat—membuat penambang batu bara Indonesia ketiban durian runtuh.
Sejak Oktober 2020, Cina meminta badan usaha milik negara mereka menghentikan impor batu bara dari Negeri Kanguru. Hubungan Cina dan Australia memburuk, antara lain dipicu keputusan Negara Bagian Victoria membatalkan secara sepihak kerja sama Belt and Road Initiative dengan Beijing akibat paksaan pemerintah federal dan Amerika Serikat.
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pada 24 November 2021. ANTARA/Nova Wahyudi
Tidak terlibat langsung dalam perang dagang, penambang batu bara di Indonesia menangguk untung. Hasil tambang mereka makin banyak masuk ke Cina, mengisi ceruk melompong yang ditinggalkan emas hitam Australia. “Karena itulah harga batu bara Indonesia sekarang naik,” kata Arsjad ketika ditemui di rumah yang ia sulap menjadi kantor pribadi di Jalan Cisanggiri, Jakarta Selatan, Ahad, 28 November lalu. “Kita ini kadang slow menangkap. Kalau ada peluang, thek, (bunyi jari dijentikkan), ambil!”
Seperti semua komoditas yang tersapu pandemi Covid-19, harga batu bara sempat terjungkal. Harga terendahnya pernah menyentuh US$ 49,75 per ton di bursa komoditas Newcastle pada Agustus 2020. Adapun harga batu bara acuan Indonesia pada bulan yang sama US$ 49,42 per ton.
Harga batu bara di bursa Newcastle baru pulih mulai November 2020, ketika mencapai US$ 79,85 per ton. Sedangkan harga batu bara acuan Indonesia baru mendekati level itu pada Januari 2021. Sejak itu harga batu bara tak terbendung lagi. Pada Oktober lalu, harga di bursa Newcastle menembus US$ 223,45 per ton. Sebulan kemudian, November lalu, harga batu bara acuan Indonesia ikut naik hingga US$ 215,01 per ton.
Mulanya Arsjad pesimistis harga yang sedang bagus ini bakal bertahan lama. Tapi perkembangan perang dagang berkata lain. Ketegangan meningkat setelah Amerika Serikat dan Inggris malah membentuk koalisi baru dengan Australia (AUKUS) guna mengimbangi Cina di kawasan Asia-Pasifik. “Tambah bagus juga buat kita,” tutur Arsjad, terkekeh. “Mungkin akan agak lama bertahannya ini (harga batu bara).”
Prediksi Arsjad tentang harga itu berbeda dengan hitung-hitungan Fitch Ratings. Lembaga pemeringkat kredit internasional asal New York, Amerika Serikat, ini meramal harga jual batu bara dunia turun pada…
Keywords: Outlook Ekonomi, Batu Bara, Energi Baru dan Terbarukan | EBT, Energi Bersih, Minyak dan Gas | Migas, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…