Apa Itu Gaya Hidup Slow Food?
Edisi: 20 Agu / Tanggal : 2023-08-20 / Halaman : / Rubrik : GH / Penulis :
TIBA di Parara Ethical Store & Cafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Agustus lalu, Bibong Widyarti langsung memesan semangkuk menu mi sagu rebus seafood seharga sekitar Rp 38 ribu dan jus green boost berbahan utama sayur pakcoi dengan kisaran harga Rp 25 ribu. Sebagai penambah rasa, perempuan 61 tahun yang menjalani gaya hidup slow food itu meminta jus pesanannya tersebut dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti nanas, lemon, dan madu hutan.
Siang itu, sambil menunggu pesanan tiba, Bibong mengajak Tempo melihat-lihat sejumlah produk bahan makanan yang dijual di Parara. Salah satunya olahan mi yang terbuat dari sagu buatan Kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tohor Lestari, Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. “Bahan mi yang saya pesan ini jauh-jauh didatangkan dari Meranti, lho,” kata Bibong kepada Tempo.
Sebagai orang yang menjalani gaya hidup slow food, Bibong paham betul asal-usul bahan makanan yang ia konsumsi. “Produsennya siapa, terus minyaknya pakai minyak kelapa. Kemudian udang dan cumi, semua kami tahu,” ujar ketua komunitas Slow Food Jakarta Urban ini.
Gaya hidup slow food mengacu pada kebiasaan mengolah makanan sehat yang diproduksi secara alami dan ramah lingkungan. Mereka yang menjalani gaya hidup tersebut juga mengetahui asal sumber bahan makanan yang hendak mereka nikmati. “Tentunya dengan mengedepankan tiga nilai, yakni produk harus baik, bersih, dan dipasarkan secara fair,” ucap Bibong.
Bibong melanjutkan, nilai fair atau adil yang terjalin antara produsen dan konsumen menjadi hal yang menarik dari gaya hidup slow food. Menurut dia, keterbukaan sangatlah penting. Dari situ, soal harga sampai kemungkinan risiko yang bisa terjadi dapat dibicarakan bersama dan dicari solusinya. "Bahwa, 'Oh, ini lho, kita jual sekian, ada biaya ini'. Kalau konsumen oke, kenapa tidak. Karena yang penting kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik,” katanya.
Sunday Farmer Market di Parara Ethnical Srore, Jakarta. 13 Agustus 2023/Tempo/Yosea Arga
Bibong menuturkan, ia aktif menerapkan gaya hidup slow food sejak 2010. Saat itu ia mengikuti acara komunitas slow food yang digelar di Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Awalnya ia memanfaatkan momen itu untuk menjalin relasi dengan sesama penganut gaya hidup slow food. Hingga akhirnya ia mendaftar sebagai anggota komunitas.
Pada 2012, setelah mengikuti pertemuan komunitas slow food di Bali, Bibong mendapat tawaran membuat komunitas serupa di Jakarta. Lalu terbentuklah dua komunitas di Jakarta: Slow Food Kemang dan Slow Food Jabodetabek—yang pada 2022 berubah menjadi Slow Food Jakarta Urban dengan jumlah anggota puluhan orang.
Boleh dibilang slow food sudah menjadi bagian dari gaya hidup Bibong. Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan sehari-hari, Bibong memanfaatkan jalinan relasi di komunitas. Sayuran, misalnya, biasa dipesan langsung dari petani di Bogor, Jawa Barat. Adapun kebutuhan beras bisa dipenuhi Bibong sendiri dari lahan pertaniannya di Jawa Tengah.
Dia juga kerap berbelanja kebutuhan bahan…
Keywords: Gaya Hidup, Makanan Organik, Slow Food, Gaya Hidup Slow Food, Komunitas Slow Food Jakarta Urban, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Tak Terpisahkan Capek, Jazz, dan Bir
1993-10-02Sejumlah eksekutif mencari dunia lain dengan mendatangi kafe. kafe yang menyuguhkan musik jazz jadi rebutan.…
AGAR MISS PULSA TIDAK KESEPIAN
1993-02-06Pemakaian telepon genggam atau telepon jinjing kini tak hanya untuk bisnis tapi juga untuk ngobrol.…
INGIN LAIN DARI YANG LAIN
1992-02-01Festival mobil gila dalam pesta otomotif 92 di surabaya akan diperlombakan mobil unik, nyentrik dan…