
JAKOB SUMARDJO
''Di Indonesia, menjadi kritikus sastra cukup berat,'' ujarnya. ''Ibarat tikus sawah, tiap kali muncul diuber dengan pentungan.'' Kritikus di Indonesia, menurut dia, kalau mau survive harus tahan gebuk. ''Paling tidak, tebal kulitlah.'' Toh, ia mengaku tiap minggu tetap menulis artikel sastra.
Jika tulisannya dimuat koran atau majalah, sesama rekan guru maupun dosen, bahkan istrinya, ''Hanya tertarik membaca nama saya,'' kata Jakob. Tetapi tidak satu pun di antara mereka membaca isi tulisan itu. Ia pernah bertanya, mengapa mereka tidak membacanya? Jawab mereka kurang lebih sama, ''Saya 'nggak ngerti yang Anda tulis.''
Sulung dari tujuh bersaudara, putra P. Djojoprajitno, pensiunan ABRI, ini biasa dipanggil Sumardjo. Setelah lulus IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, ia mengajar di SMA St. Angela Bandung, hingga 1980. Sejak tahun itu, ia menjadi dosen dan ketua jurusan teater di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Sebelumnya, Sumardjo kuliah lagi di IKIP Bandung…