
Upacara Darah (Tradisi Bali Era 70-80an)
DARAH, pertarungan, kematian. Adu ayam di Bali sekaligus memikat dan mengerikan. Pelukis Affandi berkali-kali melukiskannya. Ahli antropologi Clifford Geertz pernah membuat esei yang mendalam tentangnya. Tapi apa artinya sebenarnya bagi orang Bali sendiri upacara atau cuma judi? Di tengah kerumunan pertandingan, dua ekor ayam jago bertaji saling terjang. Penonton tegang membisu atau berteriak, memberi semangat kepada ayam yang dijagoinya agar terus menyerang lawan. Pada saat kedua ayam itu sudah kelihatan lelah dengan luka-luka di tubuh, saya (wasit) memukul kempur (gong kecil). Jika salah seekor ayam itu mati sebelum kempur berbunyi 3 kali, ia dinyatakan kalah. Tapi bila lewat 3 kali pukulan kempur keduanya hanya terengah-engah saja, maka ayam-ayam itu dimasukkan dalam satu sangkar. Dalam sangkar ini, ayam yang paling dulu mematuk lawannya itulah yang dinyatakan menang. Dengan kepatuhan pada hukum tanpa KUHP itu para petaruh akan setuju. Juga bila setelah dimasukkan ke dalam sangkar, kedua ayam tadi tak berselera lagi saling mematuk lawan. Itu artinya draw -- sama halnya jika keduanya sama-sama mati sebelum kempur berbunyi 3 kali.
Keywords :Upacara Darah (Tradisi Bali Era 70-80an),
-
Downloads :0
-
Views :134
-
Uploaded on :19-12-2023
-
PenulisTim Penyusun PDAT
-
Publisher
TEMPO Publishing -
EditorPDAT
-
Subjekperistiwa
-
BahasaIndonesia
-
Class-
-
ISBN-
-
Jumlah halaman-
Upacara Darah (Tradisi Bali Era 70-80an)
Alamat
PDAT Gedung Tempo Jl. Palmerah Barat No. 8 Jakarta 12210
Kontak
Phone / Fax: 62-21 536 0409 (ext. 321) / 62-21 536 0408
WA : 62 838 9392 0723
Email : [email protected]
Support
Support Datatempo