Hassan Wirajuda: "perundingan Dengan Gam: Yang Penting Isi, Bukan Label"
Edisi: 47/29 / Tanggal : 2001-01-28 / Halaman : 39 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
TAK banyak orang yang optimistis Aceh bisa menjadi sebuah kawasan yang tenang. Di tanah Tjut Nyak Dhien itu, perang tak henti-hentinya berkecamuk. Bahkan, ketika kesepakatan Jeda Kemanusiaan diteken Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia di Swiss, Mei tahun lalu, banyak pihak meragukan pelaksanaannya di lapangan. Fakta membuktikan keraguan itu. Ratusan penduduk tewas meski Jeda Kemanusiaan itu diawasi Henry Dunant Centre (HDC)-lembaga kemanusiaan internasional yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.
Itulah sebabnya, ketika GAM dan Indonesia bertemu lagi di Bavois, Swiss, 6-9 Januari lalu, keraguan itu masih membayang. Bisakah kedua pihak mencapai kata sepakat? Mungkinkah kesepakatan itu dijalankan?
Hassan Wirajuda merupakan salah satu dari sedikit orang yang optimistis bahwa masalah Aceh bisa diselesaikan di meja perundingan. Bagi Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri ini-yang merupakan juru runding Indonesia dalam pertemuan itu-tak ada konflik yang tak bisa diselesaikan. Dan Hassan membuktikannya.
Dalam pertemuan Bavois, GAM dan Indonesia sepakat menghentikan kekerasan selama satu bulan dan memulai dialog politik pada bulan berikutnya. Beberapa agenda pembicaraan disepakati, termasuk membuka kemungkinan diadakannya pemilihan umum di Aceh. Meski belum ada jaminan tentara kedua pihak mau menyarungkan sangkurnya, bagi Hassan, pertemuan ini sukses dalam mengajak GAM masuk ke wacana politik-sehingga diharapkan aktivitas militer GAM bisa berkurang.
Persetujuan ini tentu tidak diperoleh dengan mudah. Negosiasi keras harus dilakukan Hassan, 53 tahun, untuk mencapai kata sepakat. Bekas Duta Besar Indonesia di Jenewa itu terkadang perlu mengajak delegasi GAM untuk berbicara di bawah pohon jika suasana sudah mulai panas. "Prinsipnya, saya berusaha memahami persoalan mereka," katanya kepada Arif Zulkifli, Andari Karina Anom, dan fotografer Awaluddin R. dari TEMPO, yang menemuinya Selasa pekan lalu.
Hassan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk dunia diplomasi. Ia pernah menjadi mediator Indonesia untuk konflik Moro (1993-1996), Duta Besar Indonesia untuk Mesir (1997-1998), sebelum akhirnya menjadi Duta Besar di Jenewa (1998-2000) dan Dirjen Politik Departemen Luar Negeri (2000-sekarang). Ia meraih gelar doktor untuk bidang hukum dari Universitas Virginia, AS. Berikut ini petikan wawancara dengannya.
Bagaimana awalnya Anda terlibat dalam masalah Aceh?
Mendadak saja. Pada Januari 2000, saya dikontak Henry Dunant Centre untuk membicarakan masalah Aceh dengan GAM. Pada akhir 1999, Gus Dur memang mencoba menjalin kontak dengan Hasan Tiro melalui seorang utusannya. Sayangnya, karena suatu hal, kontak itu buntu.
Mengapa buntu?
Sebetulnya karena faktor kerahasiaan saja. Di Singapura, Gus Dur membuka masalah ini (kepada pers) sehingga Hasan Tiro mundur. Saya mendengarnya sendiri dari Hasan Tiro. Dengan kata lain, ada kelemahan dalam manajemen proses. Karena itu, pada Januari 2000, saya katakan kepada Gus Dur agar proses negosiasi ini dirahasiakan dulu karena GAM sangat sensitif. Kita harus paham bahwa tidak mudah bagi orang yang menuntut merdeka mau duduk bersama dengan orang yang mereka sebut sebagai "penjajah".
Kabarnya, dalam pertemuan dengan utusan khusus presiden itu, Hasan Tiro sempat menangis terharu?
Saya juga mendengar itu,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…