Fidel Ramos: "supremasi Sipil Akan Membantu Penyelesaian Krisis Di Indonesia"
Edisi: 30/29 / Tanggal : 2000-10-01 / Halaman : 39 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
DI tepi kolam renang Hotel Borobudur, Jakarta, Jenderal Fidel Valdez Ramos bernyanyi sepenuh perasaan, diiringi sebuah band lokal. Para tamu-terdiri atas kalangan diplomatik, LSM, dan intelektual Ibu Kota-terhenyak sebelum bertepuk tangan. Peristiwa dua pekan lalu seolah menguak sisi lain dari bekas presiden Filipina (1992-1998) itu. Seorang diplomat asing tak dapat menahan diri untuk membisikkan rasa herannya kepada TEMPO. "Saya tidak mengira bekas presiden Ramos bisa bernyanyi seperti itu," ujarnya.
Fidel Ramos, 72 tahun, memang dikenal sebagai tentara profesional yang tenang, dingin, serius-dengan kemampuan teknis nyaris tanpa cacat. Toh, ia bukan pribadi yang tak bisa menunjukkan perasaan. Pada masa Revolusi Februari 1986, yang berhasil menumbangkan rezim diktatorial Presiden Ferdinand Marcos, Ramos mudah meledak-ledak. Para wartawan asing belum lupa betapa di tengah sebuah wawancara ia tiba-tiba bisa menggebrak meja dan menghardik anak buahnya dengan suara mengguntur-sebelum kembali melanjutkan tanya-jawab dengan tenang. Ramos bahkan punya "selera humor" yang tak lazim: ia bisa enteng saja terjun payung sembari menggendong seekor kambing.
Beberapa titik penting dalam hidupnya menunjukkan Ramos jarang kehilangan ketenangan-sikap dingin mungkin istilah yang lebih tepat. Adik perempuannya, seorang duta besar Filipina di Eropa Timur, sudah mundur dari rezim Marcos sejak 1985. Adapun Ramos terus bertahan hingga Februari 1986. "Saya menantikan waktu yang tepat," ujarnya kepada TEMPO. Toh, ada kalangan yang menilai langkah itu cermin dari sikap oportunisnya: menanti hingga saat terakhir sebelum terjun ke jalanan bersama people power dan kaum militer pembangkang yang sudah pasti memenangi revolusi.
Revolusi 1986, yang membawa pembaruan besar dalam kehidupan politik, demokrasi, dan ekonomi Filipina, tak bisa dilepaskan dari peran Fidel Ramos. Beberapa hari menjelang pecahnya revolusi berdarah itu, ia melempar seluruh atributnya sebagai salah satu elite kekuasaan Marcos ke dalam laci. Bersama Menteri Pertahanan Filipina Juan Ponce Enrile kala itu, Ramos turun ke jalan bergandeng tangan dengan rakyat serta prajurit pembangkang. Sembari menyerukan turunnya Marcos, Ramos, bersama sejumlah perwira pembaru lainnya, melempangkan jalan Cory Aquino ke kursi presiden (1986-1992). Ramos pula yang menggantikan Cory.
Tapi siapa sesungguhnya Fidel Ramos, yang bisa mendapat kepercayaan Cory dengan sedemikian patut? Apakah ia prajurit profesional dan politisi yang selalu menaruh kepentingan Filipina di atas kepalanya? Atau sekadar oportunis yang meloncat dari satu rezim ke rezim lain atas nama perjuangan rakyat?
Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab melalui hasil Pemilu 1992, yang dimenangi Fidel Ramos secara demokratis. Juga bisa dijawab melalui dukungan Cory Aquino. Bukan rahasia lagi, Cory tak pernah mampu menghapuskan rasa getir pada militer Filipina, yang telah menghabisi suaminya, Benigno Aquino, atas perintah Marcos. Tapi terhadap Ramos, Cory bisa berpihak sepenuhnya.
Lahir di Lingayen, Provinsi Pangasinan, Ramos sempat belajar teknik sipil di Universitas Nasional Manila, dan meraih gelar master dari Universitas Illinois, Amerika Serikat. Namun, insinyur sipil ini kemudian terjun total menjadi tentara. Pada usia 24 tahun…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…