Hartono Mardjono : "Naro, Antara Cilangkap dan Cendana"

Edisi: 35/28 / Tanggal : 1999-11-07 / Halaman : 32 / Rubrik : WAW / Penulis : Sepriyossa, Darmawan , Kleden, Hermien Y. ,


SIDANG Umum MPR 1988 diwarnai sebuah peristiwa menarik. Seorang pria kurus, berkacamata, Wakil Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), meminta voting atas tujuh masalah pokok dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Permintaan voting yang disampaikan Hartono Mardjono, pria berperawakan kurus itu, tak ubahnya terobosan bagi sidang-sidang MPR selanjutnya.

Sebelum "gebrakan" Hartono, voting ibarat "barang haram" di Senayan. Almarhum Mayjen Soebiyakto, juru bicara Fraksi ABRI di MPR, misalnya, pernah mengatakan: "Voting mencerminkan warna liberal, bukan Pancasila" (TEMPO 12/3/88).

Awal Oktober 1999 yang baru lalu, Hartono Mardjono kembali meneriakkan permintaan voting melalui interupsi. Suaranya lantang mendesak, forumnya sama: Sidang Umum MPR. Namun, kali ini Hartono mewakili Partai Bulan Bintang (PBB). Usianya sudah 11 tahun lebih tua. Toh, sikapnya mantap tak tergoyahkan. Dalam pemilihan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR RI, ia sanggup "memaksa" seluruh anggota majelis untuk melakukan voting. Padahal jarum jam menunjukkan sudah lewat tengah malam dan para wakil fraksi telah diberi kesempatan berembuk selama dua jam. Namun Hartono Mardjono bersikukuh untuk voting dengan alasan kalau ada satu suara saja tidak setuju, keputusan yang diambil tidak bisa dianggap sebagai hasil mufakat. "Voting mencerminkan pemilihan dengan napas demokrasi. Itu yang terpenting," ujarnya,

Kepiawaian Hartono dalam adu argumentasi bukanlah hasil latihan sesaat dalam ruang sidang. Sudah lebih dari 35 tahun pria ini bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sebagai advokat-sebuah karir yang memaksanya untuk tangkas berpikir dan berargumentasi. Dan politik adalah panggung yang sangat dikenal Hartono Mardjono.

Ia lahir di Tegal, 17 Juli 1937, dari sebuah keluarga muslim yang taat. Ayahnya, Mardjono, adalah aktivis Hizbullah-laskar rakyat Masyumi. Ibunya, Suparti, sekretaris Masyumi cabang Tegal. Ketika ayahnya bekerja sebagai pegawai DPR di Jakarta pada 1950-an, Hartono-usai sekolah-kerap mampir ke kantor ayahnya di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Di sana, selama berjam-jam ia betah "menonton" perdebatan antara Mohamad Natsir, Prawoto, Zainal Abidin Ahmad, Mr. Mohamad Roem, dan Mr. Kasman Singodimejo. Atau melihat Aidit adu argumentasi dengan lawan-lawan politiknya.

Pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII) ini akrab dengan tokoh-tokoh Masyumi sejak remaja. Ia aktif di KAPU (Komite Aksi Pemilihan Umum) Masyumi-menjelang Pemilu 1955. Pada masa mahasiswa, ayah lima putri ini aktif di Pemuda Muhammadiyah. Pada 1963, ia ikut mendirikan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia). Setelah Masyumi dibubarkan, pendiri dan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini kemudian aktif di Parmusi (Partai Muslim Indonesia) sejak 1967. Ia menjadi Ketua Parmusi Wilayah DKI hingga partai ini berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973. Jabatan sebagai Ketua PPP…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…