Karkono Partokusumo: "soeharto Tidak Bisa Menerapkan Filsafat Jawa"

Edisi: 17/29 / Tanggal : 2000-07-02 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,


ADA catatan sejarah yang sekilas tampak kontradiktif dengan predikat Haji Karkono Partokusumo, 85 tahun, yang dianggap sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan RI. Dia pernah menyelundupkan opium pada zaman perang kemerdekaan. Opium adalah barang yang haram diperdagangkan bebas. Toh, Karkono justru dinilai berjasa karena memperdagangkan opium. Maklum, penyelundupan opium itu untuk menggalang dana perjuangan kemerdekaan. Kebenaran hukum tampaknya terpiuh oleh ruang dan waktu.

Kisah mirip mafia itu hanyalah salah satu warna dari perjalanan panjang lelaki kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 23 November 1915, ini. Ia hidup di lima zaman: prakemerdekaan (Belanda), Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Lebih banyak belajar secara otodidak, Karkono dikenal sebagai tokoh kebudayaan Jawa dan seniman. Ia juga sempat menjadi wartawan. Selain itu, bidang ekonomi dan politik pun dimasukinya. Latar pendidikannya sendiri biasa-biasa saja: Neutrale Holands Inlandse Jongensschool Solo (1931), Gouvernements MULO Solo (1933), dan Taman Guru Taman Siswa Yogyakarta (1935).

Di panggung politik, ia pernah menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia Cabang Surakarta, pada 1946. Karena itu, ia pernah diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) Daerah Istimewa Yogyakarta (1951-1956), sekaligus Wakil Ketua Dewan Ekonomi Konsulat Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Konstituante Bandung. Tapi panggung politik terpaksa ditinggalkannya pada 1967, sebagai protes atas kebijakan politik Soeharto yang menekankan pembangunan bidang ekonomi.

Dalam dunia pers, Karkono pernah menjadi koresponden surat kabar Utusan Indonesia, koran Sedya Tama, dan majalah Penyebar Semangat-keduanya berbahasa Jawa. Ia juga pernah menjadi redaktur dan pemimpin redaksi beberapa media, antara lain Asia Raya, Jakarta. Tapi jalan Karkono di bidang ini berkelok. Ia, misalnya, pernah divonis penjara atau denda 100 gulden oleh Pengadilan Surakarta, pada 1936, karena tulisannya yang terlalu keras. Walau denda itu diberesi oleh media tempat ia bekerja, Sri Mangkunegara VII memintanya meninggalkan wilayah Mangkunegaran Solo.

Nama Karkono menjadi perhatian publik ketika ia bersama Slamet Djabarudi, wartawan Pelopor Yogya, menerbitkan buku Sum Kuning pada 1970. Buku yang mengungkap kasus pemerkosaan terhadap seorang gadis penjual telur itu, yang menyeret anak pejabat, dilarang pemerintah.

Dalam panggung kesenian, nama samarannya, Kamajaya, juga sempat berkibar. Ia pendiri teater keliling Dardanela. Sebagai dramawan, ia menulis sejumlah naskah drama dan lirik untuk ilustrasi musik. Ia pernah mengajar di kampus teater Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), Yogyakarta. Karya tulisnya-sekitar 41 buah-berupa buku, artikel, dan cerita fiksi, antara lain Kagunan Djawi, Solo di Waktu Malam, Saijah Adinda, dan Sum Kuning. Dua yang terakhir itu pernah difilmkan. Buku monumentalnya antara lain transliterasi Serat Centhini (filsafat budaya Jawa) dan Almanak Dewi Sri (ensiklopedia pengetahuan Jawa). Ada enam…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…