Ilen Surianegara: "Cara Pengambilalihan Tim-Tim Membuat Kita Semua Celaka"
Edisi: 30/28 / Tanggal : 1999-10-03 / Halaman : 32 / Rubrik : WAW / Penulis : Budiarso, Edy , Ruki, Wendy
PARIS, 1950. Seorang anak muda berusia 26 tahun masuk ke kampus Institut d'Etudes Politiques. Di sana, selama tiga tahun, pemuda itu memperdalam marxisme-dia amat ingin mengetahui ideologi ini. Keinginan itu timbul sejak masa sebelum kemerdekaan, tatkala ia bekerja sebagai juru bahasa bagi founding fathers, terutama dalam berbagai perundingan dengan pihak asing. Pada usia semuda itu, ia sudah mahir lima bahasa asing-Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dan Jepang-serta tampil sebagai penerjemah di kala Bung Karno, Bung Hatta, atau Bung Sjahrir menerima tamu dari mancanegara.
"Pertemuan dengan para pemimpin membuka begitu banyak tabir pengetahuan," katanya. Namun, pengetahuan baru itu kian berkembang karena ia kerap mendengar perdebatan diplomat senior dan politisi terkemuka seperti Haji Agus Salim, Mr. Ali Sastroamidjojo, serta Mr. Mohamad Roem. Salah satu nilai terpenting yang diserapnya dari perdebatan-perdebatan itu adalah betapa dalamnya makna kebebasan bagi kehidupan manusia.
Ia mendengar mereka mempercakapkan paham-paham Barat yang menggoda minatnya: sosialisme, liberalisme, dan marxisme. Mahasiswa Jurusan Kimia Technische Hogeschool (sekarang ITB), Bandung, itu tiba-tiba ingin ke Eropa untuk belajar. Dan Prancis adalah negeri yang menggoda sukmanya. Mengapa? Prancis adalah gudang filsuf, seniman, dan sastrawan. Tapi, lebih dari itu, paham-paham demokrasi seperti kebebasan (la liberte) dan keragaman (la diversite) lahir di negara yang pernah berada dalam cengkeraman kaum borjuasi (tapi kemudian tumbang setelah diguncang oleh kekuatan rakyat jelata) itu. "Di sana, saya belajar betapa pentingnya kemerdekaan berpikir bagi manusia," katanya. Tak aneh, ia kerap mengutip puisi penyair Prancis, Paul Eluard: ".... Di atas pasir. Di atas salju. Kutulis namamu. Kebebasan...."
Masa studi di Prancis juga diisinya dengan bekerja. Pada waktu itu, ia menjadi satu-satunya wakil Kantor Berita Antara di Eropa. Jalan hidup kemudian menentukan bahwa pria kelahiran Bandung, 29 Desember 1924, ini harus berdiam jauh lebih lama di Prancis selepas masa studinya. Ia diangkat menjadi Atase Pers dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris (1954-1956). Setelah itu, karir diplomatnya berlanjut di Tokyo dan Aljazair, tempat ia menjadi konselor KBRI (1962-1967). Selama setahun bermukim di Jakarta, ia mendirikan dan memimpin majalah sastra Budaya Jaya (1968). Kemudian, ia kembali ke Paris dan Bonn untuk menjadi Kepala Perwakilan KBRI di Prancis dan Jerman (1970-1975). Tugas sebagai duta besar dijabatnya dalam dua periode: di Tunisia dan Aljazair (1977-1980) serta di Guinea dan Mali (1983-1986). Inilah masa-masa akhir karirnya di bidang diplomasi. Pada masa pensiunnya, ayah tiga anak ini aktif dalam dunia pendidikan, seminar, serta tulis-menulis.
Di kediamannya, sebuah rumah tua di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, ia menyimpan harta…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…