Jailani Naro: "Fusi Partai Islam ke PPP Adalah Ide Saya"

Edisi: 16/28 / Tanggal : 1999-06-27 / Halaman : 64 / Rubrik : WAW / Penulis : Nur Yasin, Ali , Nugroho, Kelik M.


JAILANI Naro adalah tokoh abu-abu dalam sejarah awal politik Orde Baru. Soalnya, mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu menganut garis politik "antara": untuk kepentingan politik Islam di satu sisi dan ambisi politik pemerintahan Orde Baru yang berbau "Islamofobia" di sisi lain.

Ketika pada 1973 rezim Soeharto merampingkan jumlah partai dari sepuluh menjadi tiga, Narolah tokoh Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang melempengkan jalan bagi fusi Parmusi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bagi kalangan politisi muslim, fusi yang dipaksakan itu dianggap sebagai upaya pengebirian politik kaum santri.

"Langkah kuda" Naro di pentas politik nasional memang sering mengejutkan banyak orang. Pada 1970, dia mengudeta Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Muktamar Parmusi pun digelar di Malang. Menurut wartawan Australia Hamish McDonald dalam buku Soeharto's Indonesia (1980), sebagai teman dekat Ali Moertopo (asisten pribadi Soeharto), John Naro-begitu dia disebut-ditunjuk untuk menyelenggarakan muktamar untuk memilih pengurus Parmusi. Djarnawi tidak menerima itu. Muktamar ricuh. Soeharto pun turun tangan dengan menunjuk Mintaredja, seorang menteri negara, sebagai ketua.

Tiga tahun kemudian, ketika PPP hasil fusi empat partai Islam terbentuk, Naro menjadi salah seorang ketua DPP. Dan lima tahun sesudahnya, sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia itu tiba-tiba diangkat oleh Mintaredja (Ketua DPP PPP waktu itu) sebagai ketua umum partai berlambang Ka'bah tanpa melalui muktamar. Banyak pihak menilai sepak terjang Naro didalangi pemerintah untuk kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum 1982. Dia menjadi Ketua Umum DPP PPP selama dua periode: 1978-1984 dan 1984-1989.

Manuver Naro yang paling menghebohkan adalah ketika orang Palembang itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden dari Fraksi Persatuan Pembangunan pada Sidang Umum MPR 1988. Rival dialah, Sudharmono, yang dipilih Soeharto-presiden yang nggegirisi (mengerikan) waktu itu-lewat cara tunjuk langsung. Langkah Naro itu dianggap sebagai sebuah keberanian yang mendekati petualangan dan menerabas tabu Orde Baru.

Bagaimana bisa Naro memiliki kiat belut dalam berpolitik? Mantan tentara pelajar ini pernah menjadi pemimpin gerakan Mahasiswa Jakarta 1964. Gelar doktor kehormatan dalam bidang ilmu hukum diperolehnya dari China Academy, Taiwan. Kiprahnya dalam organisasi Islam dimulai dari Aljam'iyah Alwashliyah, sebuah organisasi dakwah, pada 1965.

Sebagai orang dekat Soeharto, Naro pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1978-1983). Posisinya di PPP membuatnya sempat menjadi Wakil Ketua DPR/MPR, juga pada dua periode.

Pada Pemilihan Umum Juni 1999, Naro dicalonkan sebagai anggota legislatif DPR RI nomor urut pertama oleh Partai Persatuan yang dipimpin Hussein Naro, anaknya. Sialnya, partai itu tidak laku dan Naro gagal come…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…