Kolonel A. Latief: "kami Arus Bertanggung Jawab"
Edisi: 01/27 / Tanggal : 1998-10-12 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
JERUJI penjara sudah menjadi kawan akrabnya. Abdul Latief, dalam usianya yang 72 tahun, jalannya tertatih akibat luka tembak di kakinya, bibir bergetar karena betrok, dan bicaranya terbata-bata. Namun, dia tak pernah mengeluh.
Padahal, hidup Latief memang sebagian besar dilewatkan di dalam penjara. Ia ditahan di penjara Salemba sejak 1966, tetapi vonis pengadilan baru dijatuhkan 16 tahun kemudian. Pada Januari 1983 ia dipindahkan dari Salemba ke penjara Cipinang -- sampai sekarang. Itu semua berdasarkan tuduhan keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965. Di Blok D-II -- sebutan bagi blok tahanan politik -- seperti yang dilaporkan wartawan TEMPO Ahmad Taufik, Latief adalah warga yang bangun paling pagi. Setiap subuh ia membangunkan tahanan lain untuk salat subuh. Tiga hari dalam seminggu, Latief dijadwalkan menjadi imam salat jamaah. Itu dilakukan sambil duduk karena kakinya yang pincang tak memungkinkan dia berdiri. Di kamarnya, Latief tinggal bersama dengan Husni Hidayat -- narapidana kriminal -- yang bertindak sebagai pendampingnya yang mengantar Latief ke ruang tamu bila ada yang membesuk.
Setiap kali berkisah tentang masalah G30S-PKI, ia menyatakan penyesalannya yang mendalam tentang sebuah peristiwa gelap pada akhir September 1965 itu. Ia masih belum biia melupakan peristiwa para jenderal di jemput dan dihabisi nyawanya. Dia mengaku kaget dengan penembakan itu tapi tetap merasa bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Namun, sejarah telah mencatat namanya. Dan peristiwa itu, oleh Orde Baru, sudah direkam dalam film Pengkhianatan G30S-PKI (meski Latief protes karena merasa "tidak pernah memakai pakaian dinas dalam pertemum" seperti yang digambarkan dalam film arahan Arifin C. Noer itu). Di mata pemerintah Indonesia (terutama Orde Baru), A. Latief tetap dianggap sebagai salah satu dedengkot peristiwa berdarah itu. Menurut Latief, dirinya bukan anggota PKI. Dia menganggap dirinya sebagai loyalis Soekarno, yang memerintah menjemput para jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno. Menurut Latief pula, adalah Syam Kamaruzaman yang memerintah di lapangan untuk menangkap para jenderal hidup atau mati. Benar atau tidaknya hal ini tentu sukar mengeceknya kepada Syam, yang sudah almarhum.
Yang jelas, Kolonel Latief lantas dilangkap pada Oktober 1966. Setelah itu, hidupnya hanya berkisar dari penjara ke ruang operasi rumah sakit. Ia sudah sembilan kali dioperasi sejak masuk bui pada 1966. Dua tahun kemudian, Latief masuk Rumah Sakit St. Carolus akibat serangan otak atau stroke. Namun, jauh sebelum itu, sejak kena tembak pada 11 Oktober 1966, Latief sudah akrab dengan rasa sakit.
Setelah ditembak, ia dioperasi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) -- tanpa rawat inap. Ia kemudian dikembalikan ke Makodam Jaya V, Lapanganbanteng, Jakarta Pusat. Di sana, gipsnya diganti, lalu dikirim ruang isolasi di Salemba. Latief tinggal di ruang isolasi itu selama 10 tahun. "Saya tidak pernah keluar sedetik pun dari tempat ini," tuturnya. Fisiknya hancur. Luka di kedua kakinya sempat ditumbuhi ratusan belatung. Namun, Latief mampu bertahan dan sembuh. Bekas tembakan itu tetap terpatri dan itulah yang menyebabkan kaki kirinya jadi lebih pendek.
Di luar soal kaki, Latief juga tidak lebih beruntung. Berkali-kali ia mengajukan hukuman terbaatas ke pemerintah Orde…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…