Menimbang Demokrasi Liberal
Edisi: 25/36 / Tanggal : 2007-08-19 / Halaman : 26 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : , ,
Dari Ithaca, New York, pada 1958, Herbert Feith menumpahkan pemikirannya dalam sebuah monografi yang kelak dianggap sebagai ânujumâ. Monografi itu dikenal bernama The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia.
Monografi itu ia persiapkan selama 1951-1956 di Jakarta, saat Feith menjabat sebagai staf Volunteer Graduate Scheme for Indonesia di Kementerian Penerangan Indonesia. Dalam monografi itu, terlihat bagaimana Feith terpikat dengan kenyataan sebuah negara muda bernama Indonesia memilih demokrasi liberal yang mengambil model demokrasi Barat. Sebuah demokrasi yang menghormati kebebasan individu dan didasari prinsip-prinsip rule of law.
Pada 1950-an, Feith melihat suasana politik di Indonesia yang masih meneruskan tradisi intelektual Sjahrir-Hatta. Harapannya akan masa depan Indonesia menyala. Apalagi kemudian Wilopo yang masih berusia 40 tahun menjadi perdana menteri. Perdana menteri ini dibantu oleh kabinetnya yang terdiri atas orang-orang muda, seperti Dr J. Leimena, Dr Bahder Johan, Mukarto Notowidagdo, Mt. Sumanang, dan Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, yang saat itu masih berusia 34 tahun.
Tapi kemudian terjadilah titik balik itu. Pada 1952, Wilopo memberhentikan A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Angkatan Darat kemudian mengorganisasi pengerahan massa di seantero Jakarta. Sebuah peristiwa dramatik terjadi, yang kelak dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952: dua tank menghadap ke Istana. Adapun kedua tank ini menekan Soekarno untuk membubarkan parlemen. Meski usaha âkudetaâ itu gagal, menurut Feith, peristiwa ini memiliki dampak yang luas.
Tempo kali ini melahirkan edisi khusus 17 Agustus yang berniat membaca ulang Indonesia pada 1950-an itu. Sebuah era demokrasi parlementer yang lazim disebut sebagai demokrasi liberal. Saat itu tanggung jawab pemerintahan terletak pada perdana menteri, sementara presiden hanya simbol. Perdana menteri dapat jatuh bila kebijakannya tidak didukung parlemen. Bila terjadi kemelut, presiden berwenang membentuk formatur untuk menyusun kabinet baru.
Sejarah telah menulis: kabinet Wilopo jatuh setelah masa pengabdian selama 14 bulan. Sejak itu, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Jika dihitung sejak pertama kali Natsir menjadi perdana menteri…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…