Asahan Aidit: Sastra Tak Bisa Dihambat Rasa Iri Hati

Edisi: 40/36 / Tanggal : 2007-12-02 / Halaman : 54 / Rubrik : WAW / Penulis : Kusrini, Asmayani , ,


PADA usia 69, ia masih terlihat sehat dan segar. Suhu dingin menusuk tulang di pengujung musim gugur tak menghambatnya menyambut ramah Tempo di tepi jalan. Asahan Aidit kemudian mengajak menyusuri lekuk liku kompleks tempat tinggalnya di Hoofddorp, daerah pinggiran Schiphol, Belanda.

Rumah petak bertingkat yang dihuninya tipikal rumah-rumah pinggiran kota. Di sanalah ia menetap sejak 1984. Istrinya, Sen—seorang perempuan Vietnam—sedang ke luar rumah. Detak jam tua di atas lemari terdengar seperti waktu yang terus mendesak.

Banyak sudah peristiwa yang dilalui pria kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, 4 Desember 1938, ini. Sebagai anggota PKI dan adik Dipa Nusantara Aidit, dia tertahan di negeri jauh, dimusuhi banyak orang, dan beberapa kali terpaksa mengganti nama.

Semua luka itu belum kering, tapi Asahan menganggapnya sudah berlalu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah hidup tenang bersama sang istri. ”Saya bukan utopis,” katanya. ”Saya realistis. Dunia berubah, masa lalu tertinggal di belakang.” Dia kini menenggelamkan diri dengan dunia yang dicintainya sejak dulu: menulis prosa dan puisi. Sambil menghirup kopi panas, ia menuturkan banyak hal kepada Asmayani Kusrini dari Tempo.

Bagaimana pergaulan Anda sebagai sastrawan pada 1960-an?

Saya bersastra sendirian. Saya bukan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—Red.), meski saya tahu tokoh-tokoh Lekra. Abang saya sendiri, Sobron Aidit, adalah tokoh Lekra yang aktif. Saya kadang-kadang ketemu mereka, Agam Wispi misalnya. Tapi saya juga ketemu semua orang. Saya mengirim sajak ke mana-mana, tidak terbatas pada terbitan Lekra. Waktu itu sajak saya belum banyak, tapi sudah masuk Mimbar Indonesia, Waktu, dan lain-lain.

Apa tema puisi Anda saat itu?

Bebas. Saya enggak pernah membuat program dan membatasi diri dengan tema tertentu. Begitu terpikir apa saja, saya tulis. Saya lihat kehidupan gembel atau pelacur di Jakarta, ya, saya tulis.

Anda tidak bergabung dengan kelompok sastrawan mana pun?

Enggak, sama sekali tidak.

Mengapa tidak?

Memang tidak tertarik. Saya hanya merasa, bila saya menulis, saya tidak mewakili siapa-siapa kecuali diri saya sendiri. Abang saya yang Ketua PKI tidak pernah bertanya apakah saya anggota Lekra. Dia sangat peka, dan tahu harus sangat berhati-hati bila berhadapan dengan para sastrawan atau seniman.

Aidit tak pernah meminta Anda menjadi anggota Lekra?

Bila abang saya salah bertanya, umpamanya, mengapa saya tidak menjadi anggota Lekra, dia akan terjerumus oleh jawaban saya: ”Mengapa harus menjadi anggota Lekra?” Dan bila dia berani memberikan jawaban, ”Ya, sastrawan komunis harus masuk Lekra, itu wajar saja,” pasti akan saya jawab, ”Apakah tanpa menjadi anggota Lekra, keanggotaan PKI saya lalu batal?”

Bukankah Lekra identik dengan PKI?

Seniman atau sastrawan selalu makhluk rumit. Karenanya, PKI tidak pernah mengendalikan Lekra seperti yang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…