RATENGGARO, NUSA TENGGARA TIMUR Kuburan Para Jagoan

Edisi: 38/42 / Tanggal : 2013-11-24 / Halaman : 84 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : Sandy Indra Pratama, ,


PETANG merembang pada sebuah kampung yang halaman belakangnya berpagar jurang karang, membatasinya dari Samudra Hindia. Deburan ombak yang bersiap pasang berlomba membasahi pasir putih pada pantai yang sempit. Angin dingin menusuk tubuh. Suara gong dan tambur mengalun bersahutan.

Kampung itu terletak di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ratenggaro namanya. Rate berarti kuburan dan Nggaro atau Gaura adalah nama orang yang pertama tinggal di sana. Awal bulan lalu, saya dan fotografer Gunawan Wicaksono menyambanginya. Masuk administrasi wilayah Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Ratenggaro terpisah 56 kilometer jauhnya dari Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Persis di muara Sungai Waiha.

Sesekali pekikan yang menjadi bumbu keriaan orang Sumba terdengar mengagetkan. Tiba-tiba seorang pria dengan penuh senyum menyodorkan sebilah parang yang ia cabut dari pinggang. Tambur dan gong seketika berhenti, keriaan pun hilang.

"Silakan terima ini," kata Thomas, laki-laki itu, tetap dengan dengan senyum, nada bicaranya tegas. Ia kembali masuk rumah dan meninggalkan kami, tamunya, yang bingung dan takut.

Saya dan Gunawan saling pandang, siapa yang harus mengambil parang itu. Gunawan pura-pura membetulkan letak kamera. Jadilah saya yang harus menerima parang dengan perasaan tegang.

Ketegangan ini muncul dari cerita yang kami dengar tentang kampung ini sebelumnya. Ratenggaro adalah kampung pemenang perang, tempat para jagoan. Dalam sejarah yang saya rangkai dari keterangan beberapa teman yang pernah ke sini, Ratenggaro tak terkalahkan dalam duel antarsuku di Sumba.

Tangan saya makin erat mencengkeram gagang parang. Sampai Thomas kembali menghampiri kami dengan dua tangan yang tersembunyi di punggung. Dalam gerakan cepat ia menunjukkan bawaannya. "Nah, sekarang potong cepat ayamnya, nanti keburu malam, sulit melihat, sebab di sini tak ada listrik," kata Thomas sembari tertawa.

Fiuh. Seisi kampung ikut tertawa melihat ketegangan di wajah tamu asing ini. Tapi saya lega, parang itu bukan untuk berduel, melainkan buat memotong ayam untuk perjamuan makan malam. Gunawan, meski tak menerima parang, harus juga menyembelih ayam.

Penyembelihan ini tidak boleh diwakilkan. Ayam itu akan dipakai meneropong niat dan masa depan para tamu yang berkunjung ke Ratenggaro. Para imam Marapu akan melihat usus ayam atau hati babi. Untuk usus ayam saya dan Gunawan, seorang Marapu berkata bahwa usus itu tak berdarah dan berbelit. Artinya, kami datang dengan niat baik.

Tanpa bumbu apa pun, ayam dibakar dengan bulu-bulunya, lalu dihidangkan. Dalam keremangan pelita dan lamat-lamat suara ombak yang menghantam karang, kami semua bersiap makan bersama. "Penyembelihan dan pembakaran ayam serta makan malam ini merupakan upacara kecil penyambutan dari kami kepada dua saudara yang datang jauh dari Jawa. Semoga untuk kebaikan kita bersama," kata Bapak Desa—sebutan untuk kepala desa—Damianus Ndara Tanggu Lora kepada warga kampungnya.

Malam melarut. Satu per satu orang Ratenggaro pamit. Kantuk juga memberat di mata kami. Meski pembaringan hanya beralas tikar, angin tak mengusik lagi. Saya merasakan aura hangat kekeluargaan.

KOKOK ayam membuat kami terjaga pada pagi yang masih dini. Angin menusuk. Saya dan Gunawan keluar dari dalam rumah menara—sebutan bagi rumah adat Sumba yang berupa rumah panggung beratap menara tinggi—tempat kami menginap. Lima belas menit kemudian, matahari menyiram pucuk-pucuk menara yang menjulang. Siluetnya megah sekali.

Menara pada rumah adat di Ratenggaro, menurut Ndara–panggilan akrab Bapak Desa—adalah yang tertinggi di antara rumah adat lain di seluruh Pulau Sumba, yang mencapai 20 meter. "Menara itu, selain melambangkan status sosial, menyiratkan ada lagi yang lebih tinggi dari manusia, bahkan dari rumah sekalipun," kata ayah tiga anak itu.

Kampung Adat Ratenggaro pernah tiga kali nyaris musnah terlalap api. Insiden pertama terjadi sebelum 1964. Persaingan antardesa saat itu jadi pemicunya. Ndara tak mau berspekulasi siapa pelaku pembakaran. Berdasarkan cerita turun-temurun, ada panah api yang dilontarkan dari luar kampung membakar seluruh rumah di Ratenggaro. Kebakaran kedua terjadi pada 1964. Saat itu, seluruh rumah di kampung habis terbakar. Insiden itu terjadi pada malam hari, di tengah keriaan sebuah pesta adat.

"Sejak saat itu, semua mengungsi ke luar kampung. Sebab, dari 28 rumah adat di kampung ini, tak ada yang tersisa," katanya. Peristiwa ketiga terulang 40 tahun kemudian. Pada 2004, saat baru separuh kampung mampu kembali berdiri, rumah adat mereka kembali dilalap api. Saat ini di Ratenggaro ada 13 rumah adat. Dua di antaranya sedang dikerjakan.

Mendirikan rumah adat merupakan pekerjaan besar. Pengerjaannya tidak hanya melibatkan semua penduduk kampung, tapi juga restu dari…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…