Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi: Tak Ada Sistem Pilkada Ideal

Edisi: 29/43 / Tanggal : 2014-09-21 / Halaman : 124 / Rubrik : WAW / Penulis : Budi Setyarso, Heru Triyono, Tika Primandari


BEBERAPA bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi masih seorang mahasiswa yang pusing dengan disertasi. Setiap Jumat sampai Minggu, ia melakukan riset kuantitatif-menyebarkan kuesioner, lalu mengolahnya. Lebih dari satu tahun ia mengerjakan disertasi berjudul "Pengaruh Pemilihan Kepala Daerah Langsung terhadap Korupsi Kepala Daerah di Indonesia" yang akhirnya rampung itu. "Ujian tertutupnya sudah bulan lalu," katanya, sumringah.

Selasa pagi pekan lalu di kantornya di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Gamawan menemui kami dengan membawa buku disertasi setebal 400 halaman itu di tangan. Duduk sambil menyilangkan kaki, ia kemudian memperlihatkan buku bersampul kuning itu. "Bukan tebalnya yang berarti bagi saya, melainkan semangat belajar saya yang tak pernah padam," ujar Gamawan, yang mengambil program studi doktor ilmu pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

Namun soal pemilihan kepala daerah langsung tetap membuat Gamawan pusing. Setelah disertasinya kelar, kini dia dipusingkan oleh perdebatan soal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada)-yang tengah dibahas Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan undang-undang ini jadi populer karena sejumlah partai politik-khususnya yang mendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden lalu-ingin kepala daerah dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bagi banyak orang, cara seperti ini merupakan perampokan suara rakyat, yang sudah sepuluh tahun bisa menentukan langsung kepala daerahnya.

RUU Pilkada merupakan inisiatif Kementerian Dalam Negeri-diusung sejak 2012. Tentu saja rancangan itu digulirkan atas persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gamawan sendiri yang melakukan presentasi di depan sidang kabinet sebanyak empat kali untuk mengegolkan rancangan itu buat diusulkan ke DPR.

Gamawan berangkat dari kajian kementeriannya yang menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung sering menimbulkan konflik horizontal, biaya tinggi, politik uang, hingga banyak yang terjerat kasus korupsi-sesuai dengan disertasinya. "Ini bukan soal apakah pemilihan lewat DPRD itu langkah mundur atau maju, melainkan bagaimana yang paling efektif bagi masyarakat. Keduanya sama-sama demokratis," ucapnya kepada Budi Setyarso, Heru Triyono, Tika Primandari, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo.

Kenapa pemerintah mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD?

Selama sembilan tahun sistem pemilihan kepala daerah secara langsung diberlakukan, telah terjadi 1.027 pemilihan. Pemilihan seperti ini idealnya di negara yang pendidikannya sudah baik dan kesejahteraannya tinggi. Kita terlalu cepat. Bayangkan, selama sembilan tahun, ada banyak kasus kekerasan, pembakaran rumah, dan 75 orang meninggal karena konflik horizontal.

Tapi kan ada banyak kepala daerah yang bagus muncul dari sana?

Ada 321 kepala daerah-dari total 524 kepala daerah yang dipilih secara langsung-yang terjerat…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…