Keraton, Belanda, dan Gula

Edisi: 40/43 / Tanggal : 2014-12-07 / Halaman : 92 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : TIM LAPSUS, ,


SELEPAS pukul dua belas malam, puluhan anggota keluarga Pura Mangkunegaran, Solo, bersila dengan khidmat di Dalem Ageng, ruang utama istana itu. Dalam keheningan, tiga pusaka didatangkan. Tombak-tombak jangkung setinggi 2,5 meter yang terbungkus kain kuning itu diletakkan dengan penuh takzim di tengah ruangan. Lampu diredupkan, kemenyan dinyalakan, dan keheningan ditetapkan.

Ini adalah puncak dari perayaan 1 Sura tahun Jawa 1948, bertepatan dengan 24 Oktober 2014. Beberapa jam sebelumnya, tak lama setelah bulan muda muncul di cakrawala barat, perayaan yang lebih meriah berlangsung di pendapa seluas 3.500 meter persegi. Empat pusaka dikeluarkan dan dicuci. Airnya diperebutkan oleh ribuan orang yang sudah menunggu sejak sore. Pusaka-pusaka itu lalu diarak oleh anggota keluarga istana, yang memakai kebaya dan beskap hitam, berkeliling tembok keraton.

Keriuhan itu sirna pada saat semadi tengah malam berlangsung. Tak ada suara dari perangkat gamelan di pendapa, tak ada rapalan mantra dan doa. Semua lampu dimatikan. Gelap-gulita. Kita tak bisa melihat tangan sendiri.

Satu jam setelah semadi dalam kegelapan, lampu-lampu kembali dinyalakan, kemenyan dimatikan, dan ketiga pusaka kembali disimpan. Suasana menjadi cair ketika Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna, anak tertua Mangkunegara IX, membagikan makanan sesaji yang tadi ditaruh di depan pusaka. "Setiap orang punya makanan sesaji favorit. Pemilihannya bukan didasarkan pada selera lidah, melainkan lebih pada ketertarikan sukma," kata pria 35 tahun itu.

Ada pisang kepok yang direbus, apem, opor ayam, telur pindang, dan sejumlah makanan lain. "Untuk sesaji, masing-masing jumlahnya harus ganjil," ujar Sri Sutarni, 52 tahun, ahli masak istana yang membuat makanan itu.

KAMI—fotografer Aditia Noviansyah dan saya—menemui Sutarni sehari sebelumnya tepat pukul 07.30 di dekat pendapa. Dengan berjalan kaki, kami menemaninya menuju Pasar Legi, yang berada di sebelah utara istana. "Di sini lebih murah dibanding Pasar Gede," katanya. Selain berbelanja untuk keperluan makanan sesaji saat semadi, dia berbelanja buat membikin jenang suran.

Jenang bukan berarti dodol, melainkan bubur. "Jenang adalah makanan istimewa bagi masyarakat Surakarta," ucap pendiri Yayasan Jenang Indonesia, Slamet Raharjo. Pada masa lampau, jenang selalu hadir dalam ritual, dari selamatan jabang bayi hingga acara untuk orang meninggal.

Menurut hasil riset Yayasan Jenang Indonesia, dulu terdapat sekitar 20 varian jenang. "Yang dikenal oleh masyarakat pada saat ini hanya separuhnya," ujarnya. Bahkan kebanyakan masyarakat juga sudah tidak lagi tahu makna filosofis di balik jenang yang mereka santap di pasar tradisional.

Adapun kata suran berarti Sura atau Muharam, bulan pertama dalam kalender Islam dan Jawa. Kata Sura diambil dari Asyura atau 10 Muharam, salah satu tanggal terhormat dalam Islam. "Jenang suran biasanya dibuat pada tanggal 10," tutur Sutarni. Kami meminta dia membuat bubur itu pada tanggal 1 agar dapat merasakannya sebelum pulang ke Jakarta.

Hanya perlu lima menit untuk sampai di pasar yang didirikan oleh Mangkunegara VII pada 1930 ini. Saat dia baru berkuasa pada 1916, Praja Mangkunegaran membentuk Markt-wezen, yang khusus mengelola pasar. Mereka menetapkan sistem baru, yaitu para pedagang harus membayar karcis. Pada 1933, sudah terdapat 87 pasar yang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…