Makanan dari Hutan

Edisi: 40/43 / Tanggal : 2014-12-07 / Halaman : 138 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : TIM LAPSUS, ,


"Te kavo ala kojo vaqhe faicj, ubud ve, beke, blusut....Ngenj bulu ruqhu feza vaqhe re!"

SUARA melengking Agustin Fili memecah keheningan Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Dari atas teras lamin—rumah tradisional suku Dayak—dia meminta Samsyah Mekah dan Cik Usak, dua tetangga seberang rumah, pergi mencari pakis pahit, umbut rotan, daun bekai, blusut (kecombrang), dan bambu untuk memasak.

Siang itu, Sabtu kedua bulan lalu, jalanan Desa Setulang lengang. Sejauh mata memandang, dari teras rumah panggung Agustin, hanya tampak seorang inai alias ibu yang menjemur gabah di pelataran rumahnya. Sebagian lainnya duduk santai di langkan rumah panggung mereka, berlindung dari terik matahari yang kejam sambil menganyam tas rotan dan saung—caping warna-warni.

Tapi hari itu Agustin tak bisa ikut bersantai. Keponakannya, gadis remaja yang selama ini diasuhnya, besok siang dilamar seorang pria dari kota. "Masakan nasional sudah saya beli dari Malinau," kata Agustin, yang juga istri Kepala Desa Setulang. "Tapi bahan-bahan untuk masakan tradisional harus dicari di hutan."

Agustin merasa harus menyiapkan menu umum, seperti ayam dan ikan goreng, karena keluarga si pelamar bukan orang Dayak Kenyah Umaq Long, suku asli warga Desa Setulang. Tamu dari kota itu orang dari suku Dayak Bakung. Meski sama-sama Dayak, Agustin khawatir makanan khas Umaq Long yang diolah dari tumbuhan hutan tak cocok di lidah orang Bakung, apalagi yang lama tinggal di kota. Masakan khas warga Setulang tetap dia sajikan untuk pelawat dari tetangga di kiri-kanan rumahnya.

Seketika Samsyah, yang diminta bantuan oleh ibu kepala desa itu, turun menapaki tangga kayu ulin di depan rumahnya. Dengan saung melingkar di kepala dan tas rotan di punggung, perempuan paruh baya itu segera pergi mencari pakis di ladang.

Sedangkan Cik Usak, dengan perawakannya yang keras khas anak hutan Kalimantan, muncul dari samping rumah sambil memanggul seperangkat mesin perahu kecil atau ketinting.

Sesaat, Cik menghentikan langkahnya. Senyumnya mengembang sembari melambaikan tangan tanda mengajak kami, yang berdiri di samping Agustin. "Hutannya di seberang sungai, jadi harus naik ketinting," ujar Agustin.

Kami bergegas turun dari lamin Agustin, menyusul Cik menuju Sungai Setulang di belakang rumah. Di sana, ketinting merah bergaris biru miliknya sudah menunggu. Ikut serta bersama kami Amsal Kayang, sepupu Agustin yang datang dari Kota Malinau. "Beginilah kami ketika masih tinggal di kampung lama dulu di Long Saan," kata Amsal. "Pergi ke hutan cari makanan."

Bising mesin dan ketinting yang beralun kiri-kanan menyulitkan kami mengobrol. Tapi sebenarnya bukan juga karena mesin jika kami berhenti berbicara. Agaknya berdosa besar jika kami asyik mengobrol dan mengabaikan hijaunya pepohonan yang membentang di kiri-kanan sungai bening. Apalagi, ketika tak lama setelah lepas tambat, ketinting kami keluar dari…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…