Miniatur Nusantara di Tenggara Indonesia

Edisi: 38/44 / Tanggal : 2015-11-22 / Halaman : 36 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : TIM LAPSUS, ,


Haluan perahu sepanjang sebelas meter yang kami tumpangi berkali-kali terangkat ke udara, berkali-kali pula terempas ke permukaan air. Sebelas penumpang yang duduk di lambung perahu tak beratap itu hanya bisa merunduk di dalam mantel. Air laut tak cuma memercik, tapi seakan-akan dibanjurkan.

Di tengah situasi mendebarkan, tiba-tiba fotografer Eko Siswono Toyudho mengangkat kepalanya dan menunjuk ke arah buritan. "Gokil!" Dia berseru sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat Samsudin Bugis, juru mudi perahu, berdiri tenang.

Meski perahunya dipermainkan gelombang, tak terlihat rasa gentar pada sikap tubuh ataupun air muka pria yang akrab disapa Oman itu. Sambil sesekali memberikan instruksi kepada asistennya, tatapan mata nelayan 50 tahun itu terpusat pada ufuk yang sesekali lenyap dilahap gelombang.

Pagi hari di awal Oktober lalu, perairan Laut Banda di wilayah Kepulauan Kai (sering juga disebut Kei), Maluku Tenggara, memamerkan keperkasaannya. Ombak setinggi tiga-lima meter menyambut saya, Eko, Oman, dan sembilan warga Tual yang hendak berkunjung ke Tanimbar Kei, pulau paling selatan di Kepulauan Kai.

"Laut seperti ini masih terbilang teduh," kata Oman. Baru selesai dia berbicara seperti itu, haluan speed—julukan perahu motor di sana—kembali terangkat ombak besar dan menghantam permukaan air. Badan perahu berbahan serat kaca itu berderak seakan-akan hendak retak.

Tanimbar Kei berjarak 51 kilometer dari Langgur, ibu kota Maluku Tenggara, dan bisa ditempuh dalam waktu empat jam memakai speed. Tidak ada pelayaran komersial menuju pulau ini, tapi kita bisa menyewa perahu nelayan lokal dari Kota Kecamatan Debut.

Kami ke sana untuk menemui dua raja yang merupakan pemegang adat tertinggi. Di sanalah intisari dari keyakinan para pelaut Kai dikekalkan. Keyakinan akan lautlah yang membuat mereka menjaga samudra seperti merawat halaman depan rumah sendiri.

Karena waktu tempuhnya lama, perjalanan ke Tanimbar Kei disarankan dilakukan dalam dua etape. Pertama-tama, menginap dulu di salah satu pulau kecil yang berserakan di selatan Kepulauan Kai, seperti Warbal, Ur Pulau, dan Taroa.

Sehari sebelum ke Tanimbar Kei, kami diajak menginap oleh Oman dan keluarganya di Pulau Taroa (Tarwa). Pulau ini ibarat markas nelayan keturunan Bugis. Setiap suku yang menetap di Kai memang punya semacam wilayah kekuasaan yang disebut petuanan (hak ulayat) untuk mengolah lahan atau hasil laut di beberapa pulau.

Di pulau yang luasnya sekitar satu setengah kali Lapangan Silang Monas ini, hanya ada 60 keluarga yang tinggal musiman. Hampir 30 rumah kayu semipermanen terpusat di sisi utara pulau, membelakangi kebun kelapa dan hutan pantai yang rimbun.

Menjelang senja, Waariyah, istri Oman, memanggil kami yang sedang asyik berenang dan bermain air di pantai sekitar pulau. "Ayo makan dulu, beta su siapkan ikan bakar!" Inilah saat yang paling kami nantikan. Masih dengan badan dan rambut basah, kami antre.

"Jangan khawatir kehabisan ikan, ini masih banyak yang belum…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…