Kh Ahmad Mustofa Bisri: Majelis Ulama Indonesia Makin Tidak Jelas
Edisi: 47/45 / Tanggal : 2017-01-22 / Halaman : 108 / Rubrik : WAW / Penulis : Rofiuddin, ,
Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri ibarat oasis di tengah panasnya intoleransi beragama di negeri ini. Wejangannya tentang wajah Islam yang moderat sekaligus bersahabat mengisi ruang yang ditinggalkan mantan presiden Abdurrahman Wahid. Dalam kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, ia ragu akan adanya unsur penistaan dalam pidato Basuki yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51. "Jika dianggap penistaan, pemeluk Islam juga kena karena banyak yang menistakan agama lain," ujar pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Kelurahan Leteh, Rembang, Jawa Tengah, ini.
Pria 72 tahun yang akrab disapa Gus Mus ini mengatakan kasus Ahok juga membuka fakta organisasi kemasyarakatan intoleran kian mendapat ruang di Indonesia, yang dilanda euforia kebebasan. Di lain sisi, rakyat Indonesia belum siap menghadapi keberagaman. "Sehingga berbeda sedikit saja langsung ngamuk," kata putra Kiai Haji Bisri Mustofa, ahli tafsir sekaligus pendiri Pesantren Raudlatut Thalibin, ini.
Kamis malam pekan lalu, Gus Mus menerima Rofiuddin dari Tempo di rumahnya yang sederhana di Leteh, Rembang, untuk sebuah wawancara khusus. Wawancara berlangsung tiga jam secara lesehan di ruang tamunya, ditemani kopi dan air putih, tanpa rokok. Tak ada barang mewah di ruang tamu berukuran 5 x 12 meter itu. Hanya ada satu set kursi rotan yang sudah usang, sofa cokelat, beberapa lukisan kaligrafi tergantung di dinding, dan dua lemari kayu jati penuh buku. Mantan pemimpin Nahdlatul Ulama itu memaparkan pelbagai hal, dari gelombang bah hoax, kritiknya terhadap Majelis Ulama Indonesia, hingga krisis toleransi. "Orang-orang moderat harus tampil," ucapnya.
Beberapa kali tanya-jawab tertunda karena sang kiai menerima tamu yang datang silih berganti. Dengan sabar, Gus Mus menemui para tamunya. Sementara itu, ayat-ayat suci tak putus berkumandang dari ratusan santri di aula pesantren yang lebih dikenal dengan Pondok Leteh itu.
Mengapa masyarakat Indonesia semakin tidak toleran?
Kita sekian lama hidup terikat, kemudian bebas secara tiba-tiba. Booming terjadi karena keran kebebasan itu dibuka mendadak. Ibaratnya, kita dulu berada di dalam sangkar. Saat kandang terbuka, burung itu malah terbang menabrak-nabrak tak keruan.
Apakah masyarakat tidak siap berdemokrasi?
Selama ini rakyat Indonesia tak diajari menghargai perbedaan. Pada era Orde Baru, semua petani harus menanam satu jenis padi, lalu mengecat semua rumah dengan warna kuning. Kebiasaan ini membuat orang tak bisa berbeda, sehingga berbeda sedikit saja langsung ngamuk. Padahal perbedaan itu syarat mutlak berdemokrasi. Mereka yang dulu punya keinginan-keinginan tertentu tapi tidak muncul ke permukaan, sekarang muncul dengan seenaknya. Mau omong apa saja dihalalkan demokrasi, sedangkan masyarakat belum terbiasa berbeda pendapat. Sementara itu, ada orang yang menggunakan demokrasi untuk kepentingan melampiaskan apa yang…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…